Kisah Puluhan Anak SD Tegalsari Bukit Menoreh Hadapi UTS Lewati Hutan: Tidak ada Meja, Duduk Lesehan
Sejak Senin, 14 September 2020, rumah Sumardi kedatangan belasan pelajar SD Negeri Tegalsari untuk belajar bersama
Mengerjakan ujian secara berkelompok di rumah warga menjadi salah satu cara.
Mereka mesti mengenakan seragam, mengikuti protokol kesehatan, duduk berjarak, dan membawa peralatan sekolah sendiri, tidak saling meminjam.
Estuti mengungkapkan, sekolahnya menyelenggarakan ujian tidak dengan memanfaatkan daring, tetapi ujian manual atau mengisi di lembar soal.
Anak-anak sekolahnya sudah tahu kapan waktu ujian dan tempat penyelenggaraannya.
Mereka datang dari balik hutan dan kebun lebat pohon kayu keras.
Karena rampat dan jauh dari modernisasi kota, suasananya seperti dalam hutan saja. Sepi dan dingin. Mereka datang dari berbagai lokasi. Jaraknya beragam, dekat dan jauh.
Ada yang naik sepeda, ada pula yang jalan kaki. Ada yang cuma 200 meter, ada juga yang hingga 1 km.
“Paling jauh 20 menit,” kata Estuti.
Kepala Sekolah SD Negeri Tegalsari Chatarina Suparti mengungkapkan, sekolahnya sengaja menyelenggarakan model ujian dalam bentuk kelompok siswa per wilayah.
Sekolah membuka delapan pos. Pos ini sebenarnya rumah warga, dan diawasi guru maupun pemilik rumah.
Tiap pos melayani 8-15 anak. Total siswanya ada 84 orang.
“Proses pembuatan soal di tingkat kapanewon, soal sama untuk semua sekolah, lantas master didistribusi ke berbagai sekolah. Dalam hal teknis pelaksanaan PTS, sekolah melaksanakan berdasarkan kebijakan masing-masing,” kata Chatarina.
Pos itu sendiri ada yang rumah guru hingga rumah dari orangtua murid. Kekerabatan dan kekeluargaan mendasari penerimaan warga.
Warga tidak menolak penyelenggaraan ujian di rumah dan memberi kesempatan. Kendalanya hanya soal fasilitas yang terbatas.
Anak harus membawa peralatan sendiri, hanya tersedia kursi, tetapi tanpa meja, bahkan ada yang cuma lesehan.