Mengenal Asal-usul Peristiwa Rebo Wekasan, Bagaimana Hukum Meyakininya dalam Pandangan Islam?

Simak asal-usul peristiwa Rabu Wekasan serta tata cara salat tolak bala yang dipercaya hari tersial sepanjang tahun.

Editor: Muji Lestari
Tribunnews
Ilustrasi Berdoa. 

- Surat Yasin ketika sampai ayat Salamun qoulan mirrobbir rohim dibaca 313 kali kemudian berdoa: Ya Allah semoga kita beserta keluarga selamat dari musibah, bala, dan lainnya. Amin.

Baca juga: Dipercaya Turun 20 Ribu Bencana, Bagaimana Hukum Peringati Rebo Wekasan? Ini Kata Ustaz Abdul Somad

Hari Tersial Sepanjang Tahun

Benarkah Rebo Wekasan menjadi hari tersial sepanjang tahun?

Pada Rebo Wekasan atau hari Rabu terakhir di bulan Safar, dipercayai oleh sebagian masyarakat muslim Jawa bahwa hari tersebut merupakan hari sial.

Pasalnya, sebagian masyarakat muslim di Jawa memercayai bahwa pada Rebo Wekasan, Allah menurunkan 320 bala bencana.

Sehingga masyarakat muslim di Jawa yang percaya pun berlomba-lomba melakukan shalat tolak bala yang disebut sebagai shalat Lidaf'il Bala.

Shalat Lidaf'il Bala atau shalat Rebo Wekasan merupakan ritual atau tradisi yang dilaksanakan oleh masyarakat muslim di Jawa yang memercayai Rebo Wekasan tersebut.

Shalat tersebut bertujuan untuk meminta perlindungan kepada Allah dari bala yang dipercaya diturunkan pada Rebo Wekasan.

Namun, ternyata shalat Rebo Wekasan ini tidak memiliki dasar hukum yang jelas.

Dalam Muktamar NU ke-25/1971 di Surabaya serta Muktamar NU tahun 1978 di Magelang, disebutkan pula bahwa shalat Rebo Wekasan termasuk dalam fatwa haram.

Dewan Pakar PW Aswaja NU Center Jatim pun menjelaskan bahwa untuk

Hukum Rebo Wekasan dalam Pandangan Islam

Dikutip dari tebuireng.online, berikut hukum meyakini datangnya malapetaka di akhir Bulan Shafar:

Hukum tersebut, telah dijelaskan oleh hadits shahih riwayat Imam Bukhari dan Muslim:

“Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah Saw bersabda: “Tidak ada penyakit menular. Tidak ada kepercayaan datangnya malapetaka di bulan Shafar. Tidak ada kepercayaan bahwa orang mati itu rohnya menjadi burung yang terbang.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Ibnu Rajab menulis: “Maksud hadits di atas, orang-orang Jahiliyah meyakini datangnya sial pada bulan Shafar. Maka, Nabi SAW membatalkan hal tersebut. Pendapat ini disampaikan oleh Abu Dawud dari Muhammad bin Rasyid al-Makhuli dari orang yang mendengarnya. Barangkali pendapat ini yang paling benar. Banyak orang awam yang meyakini datangnya sial pada bulan Shafar, dan terkadang melarang bepergian pada bulan itu. Meyakini datangnya sial pada bulan Shafar termasuk jenis thiyarah (meyakini pertanda buruk) yang dilarang.” (Lathaif al-Ma’arif, hal. 148).

Umat Islam tidak boleh meyakini terjadinya malapetaka di bulan shafar.

Meyakini malapetaka termasuk jenis thiyarah atau meyakini pertanda buruk yang merupakan perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT.

Hukum Shalat dalam Pandangan Islam

Apabila terdapat niat shalat Rebo Wekasan secara khusus, maka hukumnya tidak boleh.

Hal tersebut dikarenakan Syariat Islam tidak pernah mengenal shalat bernama “Rebo Wekasan”.

Akan tetapi, apabila niatnya adalah shalat sunnah mutlaq atau shalat hajat, maka hukumnya boleh-boleh saja.

Syeikh Abdul Hamid Muhammad Ali Qudus (imam masjidil haram) berpendapat bahwa shalat Bulan Safar termasuk bid’ah tercela.

"Seseorang yang akan shalat pada salah satu waktu tersebut, berniatlah melakukan shalat sunnat mutlaq secara sendiri-sendiri tanpa ada ketentuan bilangan, yakni tidak terkait dengan waktu, sebab, atau hitungan rakaat.”

Hukum Berdoa dalam Pandangan Islam

Berdoa untuk menolak malapetakan pada Rebo Wekasan hukumnya boleh.

Namun, doa tersebut harus dengan niat memohon perlindungan Allah SWT dari malapetaka secara umum, tidak melibatkan Rebo Wekasan.

Sumber: Tribun Jakarta
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved