10 Alasan Anggota TGUPP Sebut Rapor Merah LBH Jakarta untuk Anies Banyak Errornya

Hal itu dikemukakan pria yang juga pengamat tata pemerintahan melalui akun twitternya.

Editor: Elga H Putra
TribunJakarta.com/Gerald Leonardo Agustino
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat mengunjungi Kampung Tanah Merah, Koja, Jakarta Utara, Sabtu (16/10/2021) 

TRIBUNJAKARTA.COM, GAMBIR - Anggota TGUPP (Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan) Tatak Ujiyati menilai rapor merah dari LBH Jakarta untuk 4 tahun kepemimpinan Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta banyak errornya.

Hal itu dikemukakan pria yang juga pengamat tata pemerintahan melalui akun twitternya.

Tatak Ujiyati menilai, berdasarkan hasil bedah dan analisis, laporan LBH Jakarta banyak kesalahan.

Baca juga: Anies Ungkap Keinginan Terbesar Keliling Indonesia, 2 Pekan Berlalu Dideklarasikan Jadi Capres 2024

Anggota TGUPP (Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan) ini mengaku sudah membaca rapor merah tersebut. 

Menurut dia, Anies menyambut baik masukan LBH Jakarta, karena bisa menjadi pertimbangan perubahan kebijakan ke depannya.

"Tapi kalau saya baca, laporan LBH Jakarta banyak juga errornya,” kata Tatak di akun Twitter miliknya @tatakujiyati, Rabu (20/10/2021).

Ia mengaku, opinininya di Twitter ini murni sebagai pendapat pribadinya. 

Ada poin yang masuk dalam rapor merah itu Tatak kritisi, yaitu terkait penggusuran. Menurut dia, metodologi LBH Jakarta lemah karena menggunakan data tahun 2018.

Tatak menilai LBH Jakarta banyak menggunakan data berita media untuk kebanyakan kasus, tanpa mengecek lapangan.

Masih kata Tatak, LBH Jakarta juga tanpa mengkonfirmasi ke Pemprov DKI Jakarta, triangulasi, validitas, sehingga terkesan subyektif.

“Akibat error di metodologi risetnya, LBH Jakarta tak bisa membedakan mana masuk kategori penggusuran, mana penertiban."

"Mana penggusuran melanggar HAM, mana relokasi tidak melanggar HAM. Semua kasus dimasukkan dalam kategori penggusuran melanggar HAM,” terang dia.

Tatak menilai, LBH Jakarta seharusnya mengecek semua kasus satu-persatu di mana lokasi penggusurannya, apakah sudah diberi peringatan, apakah ada musyawarah dengan opsi relokasi atau ganti untung.

Baca juga: Dapat Kritik Keras Rapor Merah dari LBH Jakarta, Anies Tanggapi Santai: Ini Bermanfaat

Bahkan, Tatak memaparkan beberapa kasus yang dianggap sebagai penggusuran tak terbukti melanggar HAM.

Anies, kata Tatak, akan lebih dulu mengajak warga untuk musyawarah dan memberikan mereka pilihan mau pindah dengan ganti untung atau pindah ke rusunawa.

"Terpaksa diminta pindah karena tanah Pemda mau dipakai untuk kepentingan publik lebih besar. Bukan penggusuran tapi relokasi."

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meresmikan selesainya pembangunan tahap 1 Kampung Susun Akuarium, Penjaringan, Jakarta Utara, Selasa (17/8/2021).
 
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meresmikan selesainya pembangunan tahap 1 Kampung Susun Akuarium, Penjaringan, Jakarta Utara, Selasa (17/8/2021).   (TRIBUNJAKARTA.COM/GERALD LEONARDO AGUSTINO)

"Salah satunya di Kampung Bayam ini. Tanah mau dipakai untuk pembangunan JIS. Tapi warga sudah diajak musyawarah dan diberi pilihan. Tidak melanggar HAM,” papar Tatak.

Selama kepemimpinan Anies, kata Tatak, tidak pernah ada satu pun putusan pengadilan menyatakan penggusuran yang dilakukan Pemprov DKI melanggar HAM.

Ia membandingkan gubernur sebelumnya Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di mana terdapat bukti di pengadilan bahwa penggusuran di Kampung Bukit Duri pada 2016 melanggar HAM.

“Alih-alih menggusur, Anies justru membangun kampung-kampung yang dulu digusur oleh Ahok secara sewenang-wenang dan diputus oleh pengadilan sebagai melanggar HAM."

Saat ini, Anies membangun kembali Kampung Aquairum, Kampung Kunir dan Kampung Susun Cakung, justru untuk mereka eks gusuran Bukit Duri.

"Makanya saya heran, apa ukuran/bench mark yang dipakai LBH Jakarta utk menilai dan memberi rapor merah?"

"Kalau Anies yang tak pernah diputus bersalah oleh pengadilan dapat rapor merah. Bagaimana dengan Ahok yang telah diputus bersalah oleh pengadilan karena menggusur secara sewenang-wenang melanggar HAM?” jelasnya.

Baca juga: Anies Ungkap Keinginan Terbesar Keliling Indonesia, 2 Pekan Berlalu Dideklarasikan Jadi Capres 2024

Ia mengingatkan, Anies tak pernah menjanjikan 0 penggusuran. Tapi dirinya berkomitmen menghormati hak hidup dan bertempat tinggal warga dengan mencarikan solusi terbaik.

"Tanpa penggusuran sewenang-wenang sebagaimana yang sebelumnya dilakukan Ahok," beber Tatak.

Apa yang disampaikan Aliansi berbeda dengan Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Jakarta.

10 Rapor Merah Anies dari LBH Jakarta 

Rapor merah bertajuk 'Jakarta Tidak Maju Bersama' itu disampaikan perwakilan LBH Jakarta kepada Asisten Pemerintahan DKI Jakarta Sigit Wijatmoko.

"LBH Jakarta menyoroti 10 permasalahan yang berangkat dari kondisi faktual warga DKI Jakarta," ucap pengacara publik LBH Charlie Albajili saat menyambangi kantor Anies di Balai Kota Jakarta, Gambir, Jakarta Pusat, (18/10/2021).

Rapor ini juga berisi refleksi advokasi LBH Jakarta selama empat tahun masa kepemimpinan Gubernur Anies di DKI Jakarta. Berikut rincian 10 catatan rapor merah 4 Tahun Gubernur Anies: 

1. Buruknya Kualitas Udara Jakarta

Soal kualitas udara Jakarta dianggap sudah melebihi Baku Mutu Udara Ambien Nasional (BMUAN) merujuk Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 1999.

LBH Jakarta juga menyebut kualitas udara di ibu kota tak lagi sesuai BMUA DKI Jakarta yang tertuang dalam Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 551 Tahun 2001 tentang Penetapan Baku Mutu Udara Ambien dan Baku Tingkat Kebisingan di DKI Jakarta.

Baca juga: Pemprov DKI Agendakan Gubernur Anies Terima Langsung Rapor Merah dari LBH Jakarta

"Hal ini disebabkan oleh abainya Pemprov DKI Jakarta untuk melakukan langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan," imbuh dia.

2. Sulit Akses Air Bersih Akibat Swastanisasi

Charlie mengatakan, permasalahan ini kerap ditemui pada warga yang tinggal di pinggiran ibu kota.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bereaksi atas putusan pengadilan yang mengabulkan gugatan polusi udara oleh Koalisi Ibu Kota.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bereaksi atas putusan pengadilan yang mengabulkan gugatan polusi udara oleh Koalisi Ibu Kota. (Facebook Anies Baswedan)

Khususnya di wilayah padat penduduk, dan lingkungan masyarakat tidak mampu.

Selain aksesnya yang sulit, kualitas air di ibu kota juga dianggap buruk, sehingga tidak layak digunakan atau dikonsumsi masyarakat.

"Pasokan air yang kerap terhambat akibat kecilnya daya jangkau air, mutu atau kualitas air yang buruk, dan memburuknya kualitas air tersebut. Ini tentu saja akan berakibat pada air yang tidak layak digunakan atau dikonsumsi oleh masyarakat," ujarnya.

3. Penanganan Banjir

Pemprov DKI dianggap belum bisa menangani masalah banjir sampai ke akarnya. Pasalnya, penanganan banjir selama ini hanya fokus pada aliran sungai di wilayah Jakarta dengan menghilangkan hambatan pada aliran sungai dari hulu ke hilir lewat betonisasi.

Padahal, ada beberapa tipe banjir, yaitu banjir karena hujan lokal, banjir kiriman hulu, banjir rob, banjir akibat gagal infrastruktur, dan banjir kombinasi.

"Pada beberapa Peraturan Kepala Daerah pun masih ditemukan potensi penggusuran dengan adanya pengadaan tanah di sekitar aliran sungai," tuturnya.

Baca juga: Mas Anies Akui Ada Ketimpangan Besar Soal Pemenuhan Air Bersih di Jakarta

4. Penataan Kota Belum Partisipatif

Penataan kota dengan pendekatan partisipasi warga atau Community Action Plan (CAP) merupakan bagian dari 23 janji kampanye Anies.

Salah satu contoh penerapannya ialah pembangunan Kampung Akuarium di wilayah pesisir utara Jakarta.

Pengecatan trotoar di sepanjang Stasiun Jatinegara, Jakarta Timur
Pengecatan trotoar di sepanjang Stasiun Jatinegara, Jakarta Timur (ISTIMEWA/Dok Kelurahan Rawa Bunga)

LBH Jakarta menilai penerapannya tidak seutuhnya memberikan kepastian hak atas tempat tinggal layak bagi warga Kampung Akuarium.

5. Pemprov DKI Tak Serius Perluas Akses Bantuan Hukum

Hal ini disorot LBH lantaran tidak adanya aturan mengenai bantuan hukum pada level Peraturan Daerah (Perda) di DKI Jakarta.

"Kekosongan aturan inilah melahirkan berbagai dampak seperti lepasnya kewajiban pendanaan oleh Pemprov DKI Jakarta bagi bantuan hukum melalui APBD," ucapnya.

"Serta penyempitan akses bantuan hukum bagi masyarakat miskin, tertindas dan buta hukum," tambahnya menjelaskan.

6. Sulitnya Memiliki Tempat Tinggal di Jakarta

Program rumah DP 0 rupiah yang digadang-gadang sejak masa kampanye Pilgub DKI 2017 lalu menjadi sorotan LBH.

Baca juga: PDI Perjuangan DKI Kritisi Soal Banjir di Jakarta: Butuh Kerja Konkret Bukan Malah Sibuk Berteori

Anies sempat menargetkan bakal membangun 232.214 unit rumah DP 0 rupiah bagi warganya.

Target itu mendadak direvisi Gubernur Anies menjadi hanya 10 ribu unit.

Ketentuan soal pembelian rumah DP 0 rupiah ini diubah dari awalnya dikhususkan bagi warga berpenghasilan Rp 4 juta sampai Rp 7 juta, menjadi Rp 14 juta.

Penampakan Kampung Susun Akuarium, Penjaringan, Jakarta Utara, yang disulap lebih mewah era Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Anies meresmikan Kampung Susun Akuarium sebagai kado untuk warga di HUT Ke-76 Kemerdekaan Republik Indonesia, Selasa (17/8/2021).
Penampakan Kampung Susun Akuarium, Penjaringan, Jakarta Utara, yang disulap lebih mewah era Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Anies meresmikan Kampung Susun Akuarium sebagai kado untuk warga di HUT Ke-76 Kemerdekaan Republik Indonesia, Selasa (17/8/2021). (TribunJakarta.com/Gerald Leonardo Agustino)

"Perubahan kebijakan yang cukup signifikan itu telah menunjukkan ketidakseriusan Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta untuk memenuhi janji politiknya semasa kampanye," ujarnya.

7. Belum Ada Intervensi Signifikan Soal Masalah Warga Pesisir dan Pulau Kecil

LBH Jakarta menilai, masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki karakteristik dan kompleksitas kerentanan yang jauh berbeda dibandingkan masyarakat di wilayah lain.

Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil harus berhadapan dengan ancaman terhadap kelestarian ekosistem dan konflik agraria.

Alih-alih menetapkan kebijakan yang menempatkan warga pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai aktor utama, draf Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) DKI Jakarta yang disusun Pemprov dinilai justru berpotensi mengakselerasi kerusakan ekosistem dan perampasan ruang hidup dan penghidupan masyarakat.

8. Penanganan Pandemi Masih Setengah Hati

Capaian 3T (testing, tracing, dan treatment) yang dilakukan Pemprov DKI di masa krisis dinilai LBH Jakarta sangat rendah.

Baca juga: 4 Tahun Pimpin DKI Jakarta, Aksi Anies Baswedan Bangun 3 Kampung Susun Buat Warga yang Digusur Ahok

Padahal, DKI Jakarta merupakan episentrum nasional penyebaran Covid-19.

"Pelaksanaan vaksinasi untuk kelompok prioritas juga lambat, dan justru ditemukan banyak penyelewengan booster vaksin untuk pihak tidak berhak," tuturnya.

Pemprov DKI dianggap gegabah melakukan pelonggaran dengan membuka mal pada Agustus 2021 dan  mengizinkan anak di bawah 12 tahun melaksanakan Pembelajaran Tatap Muka (PTM).

SMK Negeri 32 Tebet, Jakarta Selatan menggelar pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas, Senin (30/8/2021).
SMK Negeri 32 Tebet, Jakarta Selatan menggelar pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas, Senin (30/8/2021). (TribunJakarta.com/Annas Furqon Hakim)

Padahal kala itu positivity rate Covid-19 masih berada di atas lima persen.

"Hal ini diperburuk dengan buruknya kinerja pengawasan Pemprov DKI di sektor pengawasan fasilitas kesehatan, ketenagakerjaan dan pendidikan."

"Terbukti dengan banyaknya pengaduan masyarakat yang tidak ditindaklanjuti." 

"Di situasi kedaruratan kesehatan ini, Pemprov DKI belum memprioritaskan aspek kesehatan masyarakat ketimbang pertumbuhan ekonomi," kata Charlie.

9. Penggusuran Paksa Masih Hantui Warga Jakarta

LBH Jakarta menilai, penggusuran paksa masih menghantui warga Jakarta. 

Sebab, Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Nomor 207 Tahun 2016 yang dibuat Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok masih dipertahankan Anies.

Baca juga: Bakal Direlokasi ke Rusun Marunda, Ini Kata Warga Korban Penggusuran RW 04 Ancol

Adapun aturan itu berisi tentang penertiban pemakaian atau penguasaan tanah izin. Aturan itu sebelumnya kerap dijadikan landasan hukum bagi Ahok dalam melakukan penggusuran.

"Ironisnya, perbuatan tersebut dijustifikasi dengan menggunakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang tidak memiliki perspektif HAM," ucapnya.

Charlie menyebut, Pergub itu kini masih digunakan Anies untuk melakukan penggusuran paksa terhadap warga di Menteng Dalam, Pancoran Buntu II, Kebun Sayur, Kapuk Poglar, Rawa Pule, Guji Baru, dan Gang Lengkong Cilincing.

Suasana penggusuran rumah warga di permukiman Kampung Sawah, RW 011 Semper Timur, Cilincing, Jakarta Utara, Kamis (3/12/2020).
Suasana penggusuran rumah warga di permukiman Kampung Sawah, RW 011 Semper Timur, Cilincing, Jakarta Utara, Kamis (3/12/2020). (TribunJakarta.com/Gerald Leonardo Agustino)

10. Reklamasi

Gubernur Anies Baswedan dinilai tidak konsisten dengan janji kampanye lantaran masih ada indikasi reklamasi tetap dilanjutkan.

Indikasi ini muncul setelah Anies menerbitkan Pergub Nomor 58/2018 tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta 

"Pergub ini menjadi indikasi reklamasi masih akan berlanjut dengan pengaturan mengenai perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan reklamasi serta penyebutan pengembang reklamasi sebagai 'perusahaan mitra'," tuturnya.

Problem lain muncul ketika pencabutan izin 13 pulau reklamasi dilakukan secara tidak cermat dan segera. 

Pemprov DKI Jakarta tidak memperhatikan syarat-syarat yang diperlukan untuk mencabut izin pelaksanaan reklamasi bagi perusahaan-perusahaan. 

Selain itu pencabutan tanpa didahului transparansi dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). 

Baca juga: Bukan di Monas, Anies Siapkan 5 Alternatif Sirkuit Formula E Termasuk di Pulau Reklamasi Era Ahok

Ketiadaan kajian tersebut terlihat kompromistis karena Anies tetap melanjutkan 3 pulau lainnya. 

Alhasil, gelombang gugatan balik dari pengembang pun terjadi. Pemprov DKI Jakarta menang di tingkat Mahkamah Agung untuk gugatan Pulau H, namun kalah di gugatan lain seperti Pulau F dan Pulau G. 

"Ketidakcermatan Pemprov dalam pencabutan izin tentunya mengancam masa depan penghentian reklamasi dan menjadikan pencabutan izin reklamasi sebagai gimmick belaka," kata dia.

Sumber: Tribun Jakarta
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved