'Terbawa Angin' Hingga Keliling Dunia, Kisah Putra Pendiri Museum Layang-Layang Indoensia

Permainan yang satu ini, adalah salah satu permainan tradisional Indonesia yang cukup banyak digemari anak-anak. 

Penulis: Pebby Ade Liana | Editor: Jaisy Rahman Tohir
Pebby Adhe Liana / Tribun Jakarta
Radityo Puspoyo, gemar main layang-layang sampai keliling dunia. 

Terbaru, sebelum pandemi ia juga pergi ke Polandia dan juga Perancis untuk mempromosikan layang-layang Indonesia.

Bagi Radit, bisa memperkenalkan layang-layang tradisional Indonesia di kancah internasional adalah hal yang sangat menyenangkan. 

Apalagi, layang-layang tradisional Indonesia punya banyak variasi yang berbeda-beda.

"Kalau dilihat dari (negara) yang lain, ya mungkin memang macam-macam. di negara Asia lumayan banyak variasi, tapi base bentuk mereka sebenernya sama aja. Kalau di sini layang-layangnya banyak, materialnya aja beda-beda,"

"Ada yang dari plastik, daun, kertas. Kalau negara-negara lain, di Eropa dia cuma pakai kertas atau kain aja. Kalau Malaysia layangan tradisional mereka bisa dibilang hanya pakai bahan kertas aja. Disini saya seneng karena banyak variasi," paparnya.

Baca juga: Cerita Kusmanadi Kembangkan Bisnis Kuliner di Tengah Pandemi, Kini Buka 6 Gerai Baru

Mulai dari Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand, negara-negara Eropa, dan beberapa negara lain, meninggalkan kenangan tersendiri di ingatan Radit kala bermain layang-layang di sana.

Banyak moment-moment yang tak terlupakan.

Salah satunya adalah saat dirinya masih berusia 12 tahun. Kala itu, ia disebut sebagai pelayang terkecil dalam suatu festival layang-layang internasional karena masih begitu muda.

Saking kecil tubuhnya kala itu, bahkan sang Ibunda Endang sampai harus mengikatnya di pohon agar tidak mudah terbawa angin.

"Iya waktu itu badan saya kecil banget, sedangkan layangannya gede-gede. Ada moment kalau angin besar, daya tariknya besar juga. Jadi ibu saya ngiket saya di pohon besar supaya saya gak kebawa angin," katanya sambil tertawa.

Bagi Radit, layang-layang bukan hanya sekedar permainan. Namun, lebih dari itu.

Museum Layang-Layang Indonesia, terletak di Jalan H. Kamang, Pondok Labu, Jakarta Selatan.
Museum Layang-Layang Indonesia, terletak di Jalan H. Kamang, Pondok Labu, Jakarta Selatan. (TribunJakarta.com/Pebby Adhe Liana)

Ada nilai tradisi, budaya, bahkan juga menjadi sebuah media untuk dirinya bisa melakukan bonding bersama orangtua.

"Ibu saya sekarang umurnya 71 tahun. Saya ingat betul, waktu dia umur 50 tahun dia bilang 'someday kamu yang pegang ini museum (Layang-Layang Indonesia ). Saya sudah gak bisa nerbangin layangan lagi, nanti kalau umur saya sudah 60 tahun, kita tatap promosiin layang-layang ini diinternasional tapi kita terbalik. Kamu yang lari-lari nerbangin layangan, saya yang pegangin layangan' kata ibu saya gitu," kata Radit.

"Tapi tiga tahun yang lalu, umur dia 68 tahun kita masih terbang ke Polandia, ke Perancis, masih aja saya yang megangin layangan, dia yang lari-lari. Jadi layangan ini gak hanya untuk anak muda aja. Ibu saya usia 71 tahunpun, masih tertarik," sambungnya.

Saat ini, Radit menjabat sebagai seorang Kepala Museum di Museum Layang-Layang Indonesia

Berawal dari kegemarannya pada layang-layang, kini Radit meneruskan misi Museum Layang-Layang Indonesia yang didirkan oleh sang ibunda untuk terus memperkenalkan dan mempromosikan layang-layang tradisional kepada masyarakat yang lebih luas.

Sumber: Tribun Jakarta
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved