Antisipasi Virus Corona di DKI
Jabodetabek Jadi Sumber Kenaikan Kasus Covid-19 di Jawa-Bali, Wagub DKI: Interaksi Sangat Tinggi
Wagub DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengakui interaksi warga di Jabodetabek sangat tinggi. Hal itu terkait kenaikan kasus Covid-19 di Jawa-Bali.
Penulis: Nur Indah Farrah Audina | Editor: Ferdinand Waskita Suryacahya
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Nur Indah Farrah Audina
TRIBUNJAKARTA.COM, GAMBIR - Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengakui interaksi warga di Jabodetabek sangat tinggi.
Pernyataan ini menyusul data yang diungkapkan oleh Pemerintah Pusat terkait kenaikan kasus Covid-19 dalam satu pekan terakhir.
Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan kenaikan kasus di Jawa Bali ini diidentifikasi masih bersumber dari peningkatan pada wilayah aglomerasi Jabodetabek.
"Ya memang sekali lagi Jakarta nih kan ibu kota, apalagi interaksi di Jabodetabek sangat tinggi dan warga Jabodetabek itu keluar Jabodetabek juga mungkin ke daerah-daerah lainnya diluar Jabodetabek. Jadi dimungkinkan penularan itu bisa saja melalui warga yang ada di Jabodetabek," jelasnya di Balai Kota DKI, Senin (24/1/2022).
Sehingga pengetatan protokol kesehatan perlu digaungkan kembali, mengingat interaksi yang tinggi dan masuknya varian omicron di Jakarta.
Baca juga: Bantah Gusur Warga demi Proyek JIS, Wagub DKI: Direlokasi dengan Kekeluargaan dan Kemanusiaan
Baca juga: Wagub DKI: Tidak Ada yang Meninggal karena Kasus Omicron
Terlebih, satu diantara dua pasien omicron yang meninggal merupakan warga Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
"Sekali lagi warga di Jabodetabek tidak hanya di Jakarta memang harus hati-hati. Pastikan kita hadir dimanapun menggunakan masker, jaga jarak, cuci tangan, hindari kerumunan, kurangi mobilitas, hindari makan bersama itu hal-hal yang sudah menjadi ketentuan," jelasnya.
Keterisian BOR di DKI Capai Angka 31 Persen, ICU 8 Persen

Keterisian atau bed occupancy rate (BOR) dan Intensive Care Unit (ICU) rumah sakit di DKI Jakarta terus mengalami peningkatan.
Terbaru, keterisian BOR di DKI sudah mencapai 31 persen atau mengalami kenaikan 11 persen.
Sebab per tanggal 16 Januari 2022, keterisian BOR baru mencapai 20 persen.
"Terkait BOR data yang kami terima hingga hari ini ada peningkatan. Saat ini BOR kita 3.616 dan yang terisi 1.115. Itu artinya sudah mencapai 31 persen ini peningkatan yang cukup signifikan sebelumnya 20 persen," kata Wagub DKI Jakarta Ahmad Riza Patria di Balai Kota, Senin (24/1/2022).
Selanjutnya, untuk keterisian ICU di DKI sudah mencapai 8 persen atau meningkat sebanyak 3 persen.
Dari 610 yang tersedia sudah terpakai 51.
"Namun, ICU-nya baru 610 terpakai 51, artinya 8 persen. Ini memang berbeda varian Omicron dengan varian lain."
"Varian Omicron tidak berbahaya seperti varian delta. Tapi tidak berarti kita lengah, kendor tetap waspada. Kita pastikan kita berada di rumah sebagai tempat yang terbaik. Kedua mari kita laksanakan protokol kesehatan secara ketat displin, patuh dan bertanggung jawab," jelasnya.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, Widyastuti memberikan alasan kenaikan bed occupancy rate (BOR) yang belakangan ini mencapai sembilan persen.
Anak buah Anies ini menyebut hal ini lantaran pihaknya belum membuka secara keseluruhan tempat tidur di rumah sakit untuk penanganan Covid-19.
"Nah tentu melihat BOR itu juga melihat kapasitas tempat tidur. Saat kondisi yang lalu puncak kita (gelombang kedua) mempunyai tempat isolasi hampir 15 ribu tempat tidur," katanya di Balai Kota DKI, Rabu (12/1/2022).
"Saat ini kita sekitar 4 ribuan. Kalau saat ini meningkat (keterisian BOR) ya kami belum melebarkan secara maksimal jumlah tempat tidur untuk covid," tambahnya.
Kasus yang tak mulai melandai pasca gelombang kedua, membuat ratusan rumah sakit yang ada di Jakarta memaksimalkan kembali pelayanannya.
Sehingga tempat tidur disediakan kembali untuk layanan pasien non Covid-19, selain tempat tidur untuk pasien Covid-19.
Rencananya, penambahan tempat tidur ini bakal diambil dengan melihat tren kenaikan kasus aktif dan mengacu pada regulasi yang ada.
"kita lihat trennya. Nanti kalau trennya begitu ya kami luaskan sambil melihat regulasi, menunggu regulasi dari pusat apakah isolasi di RS, seperti yang lalu yang lalu untuk kasus sedang dan berat saja."
"Sehingga tanpa gejala atau gejala ringan cukup isolasi mandiri atau isolasi terpusat, kita sesuaikan," ungkapnya.