Ironi Kedelai Lokal, Lebih Murah dan Bergizi Tapi Tak Cukupi Produksi Tempe Tahu
Ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor mengakibatkan para produsen tempe dan tahu menjerit harus dengan harga mahal.
Penulis: Bima Putra | Editor: Ferdinand Waskita Suryacahya
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Bima Putra
TRIBUNJAKARTA.COM, JATINEGARA - Ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor mengakibatkan para produsen tempe dan tahu menjerit karena harus membeli kedelai dengan harga mahal.
Mereka harus membeli kedelai impor bahan baku produksi tempe, tahu yang harganya kini mencapai Rp 11 ribu-11.300 per kilogram dan diprediksi masih dapat melonjak sesuai harga global.
Ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (Gakoptindo), Aip Syaifuddin mengatakan para produsen bukan tidak mau menggunakan kedelai lokal, tapi tak bisa.
"Kedelai lokalnya enggak ada (di pasaran). Produksinya sekitar 300 ribu ton satu tahun, sementara kebutuhan kita ini 3 juta ton satu tahun," kata Aip saat dikonfirmasi di Jakarta Timur, Senin (21/2/2022).
Menurutnya hingga kini 2,6 juta kebutuhan kedelai Indonesia dalam satu tahun harus mengandalkan kedelai impor, sehingga saat harga global naik produsen tempe, tahu terdampak.
Baca juga: Usai Mogok Produksi, Produsen Tempe dan Tahu Bakal Naikkan Harga Sampai 20 Persen
Padahal varietas kedelai lokal disebut memiliki kandungan gizi lebih baik dibandingkan kedelai impor negara Amerika, Brazil, dan Argentina yang menguasai pasar global.
Dia juga menampik anggapan bila alasan produsen tempe dan tahu di Indonesia tidak menggunakan varietas lokal karena tidak cocok untuk jadi bahan baku produksi.
"Cocok, cocok sekali. Padahal kedelai lokal gizinya lebih bagus dari kedelai impor, untuk tempe, tahu. Intinya kedelai lokal lebih bagus gizinya, protein, dan lainnya dari kedelai impor," ujarnya.

Aip menuturkan masalah swasembada kedelai untuk memenuhi kebutuhan produksi produsen tempe, tahu sudah jadi masalah lama yang hingga kini belum diselesaikan pemerintah.
Sejak lama pemerintah pusat melalui Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian dan pihak lainnya sudah membahas masalah ini, tapi tidak kunjung terealisasi dan hanya jadi angan.
"Usulan sudah dari zaman bahela. Jadi program swasembada kedelai itu program setiap Presiden begitu. Swasembada kedelai itu pernah tercapai tahun 90-an. Tahun 1989 sampai 1992," tuturnya.
Baca juga: Ikut Mogok Produksi pada 21-23 Februari, Produsen Tempe di Sunter Jaya Mulai Stop Perebusan Kedelai
Menurutnya hanya pada rentan waktu tersebut produksi kedelai lokal dapat mencapai 2 juta ton dalam satu tahun dan mampu memenuhi kebutuhan produsen tempe, tahu tanpa harus impor.
Aip mengatakan penyebab Indonesia hingga kini belum mencapai swasembada kedelai karena para petani enggan menanam kedelai, alasannya bukan termasuk komoditas menguntungkan.
"Karena kalau tanam kedelai (lokal) satu hektar itu hanya sekitar 1,5 ton hasilnya. Dijual harganya itu sekarang kita beli antara Rp 6.500 sampai Rp 7 ribu per kilogram. Sehingga satu hektar itu hasilnya kira-kira Rp 10 juta," lanjut Aip.
Bila petani menggunakan satu hektar sawahnya untuk menanam komoditas lain seperti padi maka dapat menghasilkan panen sekitar lima hingga enam ton, artinya keuntungan lebih besar.

Sementara pemerintah seakan hanya bisa mengimbau produsen tempe, tahu menggunakan kedelai lokal ketika harga kedelai impor melonjak, tapi tidak mampu menggenjot produksi.
"Kalau tanah satu hektar ditanami padi itu bisa (panen) lima sampai enam ton. Kalau Rp 10 ribu (per kilogram) itu Rp 50 juta. Jadi petani lebih suka tanam padi, jagung, bawang, dan lainnya," sambung dia.
Baca juga: Catat! Produsen Tempe dan Tahu di Jakarta Bakal Mogok Produksi 21-23 Februari 2022
Terhitung Senin (21/2/2022) hingga Rabu (23/2/2022) produsen tempe, tahu di wilayah DKI Jakarta, Bodetabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur melakukan mogok produksi.
Langkah ini sebagai bentuk protes atas mahalnya harga kedelai impor yang gagal diatasi pemerintah karena pada tahun 2021 lalu hal serupa terjadi dan memaksa produsen mogok.