Anies Baswedan Ingkar Lagi? Pergub Era Ahok Tak Kunjung Dicabut Padahal Masa Jabatan Tinggal 2 Bulan
Masa jabatan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tinggal tersisa dua bulan lagi, orang nomor satu di ibu kota itu akan lengser 16 Oktober 2022 mendata
Penulis: Dionisius Arya Bima Suci | Editor: Wahyu Septiana
"Sudah dua kali dilakukan (audiensi), yang pertama dengan biro hukum TGUPP dan juga Aspem. Kemudian kami meminta langsung untuk ketemu dengan Pak Anies. Kemudian dijadwalkanlah di 6 April itu rapat pimpinan bersama Pak Anies. Nah dari pertemuan itu makanya muncullah berita acara bahwa pihak gubernur dan Pemprov akan mencabut ini dan akan memproses gitu setelah kami melakukan audiensi," jelasnya di lokasi.
Namun, hingga saat ini belum ada tanggapan maupun tindakan faktual yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta atas Pencabutan Pergub DKI 207/2016.
Sehingga KRMP mengirimkan kembali surat permintaan audiensi kepada Pemprov DKI Jakarta.
"Belum jelas (keputusannya) Bahkan sebenarnya yg menjadi catatan kami kan sebenarnya ada satu poin dari berita acara ada moratorium untuk digunakan pergub ini, tapi yg terjadi di Pancoran itu setelah adanya berita acara dari pihak camat Pancoran malah mengeluarkan undangan sosialisasi," pungkasnya.
Sebagai informasi, Koalisi Rakyat Menolak Penggusuran (KRMP) sempat mencatat lima alasan pencabutan Pergub 207/2016 Tentang Penertiban Pemakaian/Penguasaan Tanah Tanpa Izin yang Berhak.
Pasalnya, Pergub yang dikeluarkan pada era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok tersebut melegalkan penggusuran paksa yang tidak sesuai dengan standar HAM, dan mengakibatkan penggusuran bisa dilakukan disejumlah tempat dan masuk dalam kategori sah atau legal.
Berikut 5 alasan mereka menuntut Pergub 207/2016 dicabut, diantaranya sebagai berikut:
- Mayoritas penggusuran dilakukan tanpa musyawarah dengan penggunaan aparat tidak berwenang seperti TNI, adanya intimidasi dan kekerasan, pembangkangan terhadap upaya hukum, hingga pelanggaran hak masyarakat untuk memperoleh hak atas tanah.
"Hal ini tidak hanya berimbas hilangnya hunian, penggusuran juga mengancaman keselamatan jiwa, kesehatan serta hilangnya akses terhadap makanan, pendidikan, perawatan kesehatan bahkan pekerjaan dan peluang mencari matu pencaharian lainnya," isi keterangan tertulis dari KRMP.
- Adanya sengketa/konflik lahan dengan pihak korporasi dan pemerintah yang memiliki akses luas terhadap hukum, berhadapan dengan masyarakat miskin kota yang termarjinalkan. Dalam implementasinya, alih-alih melakukan inventarisasi, evaluasi, dan penertiban aset korporasi yang ditelantarkan, Pemerintah justru menitik beratkan penertiban kepada masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap hak atas tanahnya. Sehingga menjadi jelas bahwa Pergub DKI 207/2016 ini berlawanan dengan Undang-Undang Pokok Agraria dan semangat Reforma Agraria;
- Pergub DKI 207/2016 menjadi bentuk penggunaan kekuasaan dalam penyelesaian konflik alih-alih menempuh prosedur hukum dan hak asasi manusia.
"Hal ini dapat dilihat bahwa peraturan tersebut tidak mensyaratkan adanya musyawarah yang berimbang dan prosedurprosedur lain sesuai ketentuan Komentar Umum No. 7 Kovenan Hak Ekosob. Bahkan peraturan tersebut tidak memberikan kesempatan kepada warga untuk dapat menguji hak kepemilikan tanah melalui forum pengadilan, padahal ketentuan hukum perdata di Indonesia mensyaratkan hal tersebut harus dilakukan dalam penyelesaian sengketa lahan," lanjut isi KRMP.
- Selain melanggar UU TNI, Pergub DKI 207/2016 telah melanggar ketentuan pada Kovenan Ekosob karena tidak memberikan jaminan perlindungan dan pemenuhan terhadap hak atas perumahan dengan membenarkan tindakan penggusuran paksa, UU 48/200 tentang Kekuasaan Kehakiman karena penggusuran paksa dapat dilakukan tanpa melalui proses pembuktian kepemilikan di Pengadilan, serta UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah karena bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan;
- Pergub DKI 207/2016 juga telah melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik, sebab tidak adanya kepastian hukum dalam proses pembuktian kepemilikan dalam hal terjadi sengketa tanah, terlanggarnya asas kemanfaatan karena melegitimasi penggusuran paksa dan membuka ruang bagi penggunaan kekerasan oleh aparat maupun pihak ketiga yang tidak memiliki kepentingan dan kewenangan, serta melanggar asas ketidakberpihakan karena hanya melihat dari sudut pandang pemohon penerbitan dan sama sekali tidak membuka ruang bagi warga yang terdampak untuk membela diri dan kepentingannya.