Kasus Gangguan Ginjal Akut
Bakal Datangi Faskes, Aksi Heru Budi Hartono Hadapi Lonjakan Kasus Gangguan Ginjal Akut di Jakarta
Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono melakukan sejumlah langkah hadapi lonjakan kasus gangguan ginjal akut di ibu kota.
TRIBUNJAKARTA.COM, JAKARTA - Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono melakukan sejumlah langkah menghadapi lonjakan kasus gangguan ginjal akut di ibu kota.
Dinas Kesehatan DKI Jakarta mencatat penyakit gangguan ginjal akut pada anak mencapai 71 kasus.
Heru Budi Hartono pun bakal mendatangi sejumlah fasilitas kesehatan di DKI Jakarta.
Demikian disampaikan Heru Budi Hartono saat memantau meja pengaduan masyarakat di Balai Kota DKI Jakarta, Kamis (20/10/2022).
"Ya, pasti-pasti. Ke puskesmas, dan lain-lain," kata Heru, saat ditemui di Pendopo Balai Kota DKI Jakarta.
Baca juga: 99 Nyawa Anak Melayang Akibat Gagal Ginjal Akut, Berikut 5 Merek Obat Sirup Ditarik BPOM
Heru Budi Hartono mengungkapkan dirinya bakal terus berkoordinasi dengan pemerintah pusat terkait penanganan kasus gagal ginjal akut di Jakarta.
Dia akan menyampaikan hasil perkembangannya dalam waktu dekat.
"(Dinas Kesehatan) Dinkes koordinasi terus. Nanti sore saya kasih kabar lagi," kata Heru.
Penjelasan Dinkes DKI

Sementara itu, Kepala Dinkes DKI Widyastuti mengungkapkan adanya 71 kasus gangguan ginjal akut di ibu kota.
Dimana, sebanyak 40 anak meninggal akibat penyakit tersebut.
"Data sementara yang sudah kami olah dari Januari sampai 19 Oktober, ada 71 kasus terlaporkan. Kemudian yang meninggal sejak Januari ada 40 anak," ucapnya di Labkesda DKI, Senen, Jakarta Pusat, Kamis (20/10/2022).
Dinkes DKI juga mencatat, saat ini 16 anak masih dirawat dan 15 lainnya sudah dinyatakan sembuh.
Belasan anak yang masih dirawat itu kini masih menjalani perawatan di rumah sakit pemerintah, baik itu milik Pemprov DKI maupun BUMN.
Baca juga: Warga Jakbar Hati-hati, Ada 8 Kasus Gangguan Ginjal Akut Anak di Kebon Jeruk dan Kalideres
Dari total 71 kasus penyakit ginjal akut yang ditemukan di ibu kota, sebanyak 60 kasus atau 85 persen terjadi pada balita dan 11 kasus lainnya atau 15 persen pada anak usia 5-18 tahun.
"Dari 71 kasus tadi, sebanyak 35 anak berdomisili di DKI Jakarta. Kemudian 9 dari Banten, Jawa Barat ada 16 kasus, dan 7 kasus di Bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi)," ujarnya.
Anak buah penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta ini menerangkan, penyakit ginjal akut pada anak ini pertama kali dilaporkan pada Maret 2022 lalu.
Kemudian, jumlah kasus terus bertambah setiap bulannya hingga mencapai puncaknya pada Oktober ini dengan jumlah temuan mencapai 31 kasus.
"Kenapa lok meningkat? Karena memang informasinya sudah lengkap. IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) sudah mengeluarkan edaran, Kemenkes juga keluarkan edaran," tuturnya.
"Kemudian kami sosialisasi sehingga rumah sakit yang sempat merawat dan sedang merawat langsung melaporkan kepada kami," sambungnya.
Pedagang Pasar Pramuka Masih Jual Obat Sirop

Pedagang obat di Pasar Pramuka, Kecamatan Matraman, Jakarta Timur masih menjual obat sirop.
Pedagang Paguyuban Pedagang Obat Pasar Pramuka, Yoyon mengatakan pihaknya masih menjual obat sirop karena menilai intruksi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tak jelas.
Pasalnya Kemenkes tidak merinci daftar obat yang dilarang dijual sementara, dan hingga kapan larangan penjualan berlaku selama proses investigasi memastikan penyebab gagal ginjal akut berlangsung.
"Masih ada yang konsumen beli, masih kita jual juga. Namun agak berkurang penjualan," kata Yoyon di Pasar Pramuka, Jakarta Timur, Kamis (20/10/2022).
Menurutnya warga yang membeli obat jenis sirop di tengah lonjakan kasus gangguan ginjal akut sudah mengetahui risiko, sehingga pedagang menyerahkan masalah pembelian kepada konsumen.
Baca juga: Gangguan Ginjal Akut, Larangan Beli Obat Sirop Bikin Bingung Pembeli di Pasar Pramuka
Di Pasar Pramuka yang merupakan sentra penjualan obat dan alat kesehatan, 30 persen konsumen membeli obat jenis sirop berbagai jenis dan 70 persen jenis tablet, kapsul.
"Kalau memang dia (konsumen) membeli dia sudah tahu apapun dampaknya. Mereka juga tahu bukan tugas kita (pedagang) untuk menjelaskan mereka seperti itu," ujarnya.
Yoyon menuturkan bagi pedagang intruksi pemerintah menghentikan penjualan sementara obat sirop tidak memberikan solusi, justru merugikan karena pendapatan berkurang.
Para pedagang cemas obat yang sudah mereka beli bakal kedaluwarsa saat menanti hasil investigasi, sementara pemerintah tidak menarik peredaran obat jenis sirop.
"Ada batas waktunya obat ini expired. Kawan-kawan (pedagang obat) ini bukan rugi Rp10, Rp20 juta bisa ratusan juta ruginyam Walaupun kecil jumlahnya banyak," tuturnya.