Kelompok Buruh Minta Kenaikan UMP DKI di Atas Inflasi: Angka Masuk Akal 6,5 sampai 13 Persen
Ia pun menyebut, adalah cerita bohong bahwa penghitungan pengupahan menggunakan PP Nomor 36 Tahun 2021 yang jadi alasan pengusaha akan terjadi resesi
Penulis: Dionisius Arya Bima Suci | Editor: Acos Abdul Qodir
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Dionisius Arya Bima Suci
TRIBUNJAKARTA.COM, GAMBIR - Pemprov DKI Jakarta masih menggodok besaran upah minimum provinsi (UMP) yang akan diterapkan pada 2023 mendatang.
Pembahasan pun terus dilakukan lewat Dewan Pengupahan DKI Jakarta dengan melibatkan perwakilan pengusaha dan buruh.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Partai Buruh pun menegaskan menolak penetapan UMP DKI Jakarta 2023 dengan merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
Presiden KSPI sekaligus Presiden Partai Buruh, Said Iqbal mengatakan, ada beberapa alasan PP 36 Nomor 2021 tak bisa digunakan sebagai dasar hukum dalam penetapan UMP tahun 2023.
Pertama, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja sudah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusional (MK).
Oleh karena itu, PP Nomor 36 Tahun 2021 yang merupakan turunan UU Cipta Kerja tidak bisa digunakan sebagai acuan dalam menetapkan UMP Tahunu 2023.
"Karena PP 36/2021 tidak digunakan sebagai dasar hukum, maka ada dua dasar yang bisa digunakan," ucapnya dalam keterangan tertulis, Kamis (17/11/2022).
Baca juga: Apindo Ingatkan Soal Aturan Pengupahan Terkait UMP DKI 2023: Pesen Kami Terima Asal Ada Acuannya
Kedua, adalah menggunakan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, di mana kenaikan UMP dihitung dari inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi.
Namun, bisa juga Menteri Ketenagakerjaan mengeluarkan Permenaker khusus untuk menetapkan UMP/UMK Tahun 2023 sebagai rujukan daerah menetapkan upah minimum.
Ketiga, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan upah yang tidak naik selama tiga tahun berturut-turut menyebabkan daya beli buruh turun hingga 30 persen.
Oleh karena itu, PP 36 Tahun 2021 tidak dapat digunakan, lantaran daya beli buruh yang turun itu harus dinaikkan dengan menghitung inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Jika tetap dipaksakan menggunakan PP 36 Nomor 2021, maka nilai kenaikan UMP akan berada di bawah inflasi, sehingga daya beli buruh akan semakin terpuruk.
Ketiga, tingkat inflasi di Indonesia secara umum berada di angka 6,5 persen sehingga pemerintah harus menyesuaikan antara harga barang dan kenaikan upah.
"Kalau menggunakan PP Nomor 36 Tahun 2021, kenaikannya hanya 2 sampai 4 persen, ini maunya Apindo (pengusaha). Mereka tidak punya akal sehat dan hati, masa' naik upah di bawah inflasi," ujarnya.
Baca juga: Pekan Ini Buruh Kembali Demo di Balai Kota, Tuntut UMP DKI 2023 Naik 13 Persen
