Buruh Ancam Gelar Aksi Mogok Daerah Bila Pemprov Tetapkan UMP DKI 2023 Kurang dari 10,55 Persen
Massa dari berbagai elemen buruh mengancam bakal melakukan aksi mogok daerah bila kenaikan upah minimum (UMP) 2023 sebesar 10,55 persen ditolak.
Penulis: Dionisius Arya Bima Suci | Editor: Jaisy Rahman Tohir
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Dionisius Arya Bima Suci
TRIBUNJAKARTA.COM, GAMBIR - Massa dari berbagai elemen buruh mengancam bakal melakukan aksi mogok daerah bila kenaikan upah minimum (UMP) 2023 sebesar 10,55 persen yang diusulkan tidak dikabulkan oleh Pemprov DKI.
Hal ini diungkapkan Nugraha, perwakilan buruh Jakarta usai ikut mediasi dengan Penjabat (Pj) Gubernur DKI Heru Budi Hartono.
"Untuk aksi selanjutnya rencananya memang ada, tali belum kami sepakati dalam konsolidasi bersama. Kalau memang dimungkinkan kami akan aksi lebih besar, bahkan kami akan melaksanakan mogok daerah," ucapnya di Balai Kota, Kamis (24/11/2022).
Untuk saat ini, ia menyebut, buruh masih menunggu hingga batas akhir penetapan UMP 2023 pada 28 November mendatang.
Aksi ini pun disebut bisa meluas hingga menjadi aksi mogok nasional bila banyak wilayah lainnya yang menetapkan UMP 2023 di bawah tuntutan yang sudah disampaikan buruh sebelumnya.
Baca juga: Bocoran Kenaikan UMP 2023 DKI Jakarta Tak Sampai Rp 5 Juta, Buruh Siap-siap Kecewa
"Itu wacana kami, tapi nanti seperti apa teknisnya, kami akan berkonsolidasi dengan kawan-kawan buruh lain," ujarnya.
Sebagai informasi, angka 10,55 persen yang jadi tuntutan buruh ini sudah sempat disampaikan dalam Sidang Dewan Pengupahan yang digelar beberapa waktu lalu.
Angka ini pun lebih rendah dibandingkan tuntutan awal buruh yang minta UMP 2023 naik 13 persen.
"Awalnya kan kami menuntut 13 persen. Tapi kemarin ada diskusi lagi dan akhirnya 10,55 persen. Itu tuntutan dari buruh," kata dia.
Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa buruh menolak bila UMP 2023 yang ditetapkan Pemprov DKI kurang dari 10,55 persen.
"Sesuai arahan Kementerian Tenaga Kerja, tanggal 28 November adalah batas akhir penetapan UMP di semua provinsi di Indonesia, kami tunggu itu," kata dia.

Sementara, dari sisi pengusaha, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) saling berbeda pandangan.
Kadin menggunakan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 tahun 2022 sebagai rujukan penentuan UMP.
Sedangkan Apindo tetap menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 tahun 2021 tentang pengupahan.
Wakil Ketua Apindo DKI Jakarta, Nurjaman, mengatakan, Apindo tetap ngotot menggunakan PP Nomor 36/2021 tentang Pengupahan sebagai acuan lantaran aturan tersebut lebih tinggi ketimbang Permenaker Nomor 18/2022.
Ia pun menilai, Permenaker Nomor 18/2022 cacat hukum lantaran menabrak aturan di atasnya yang lebih tinggi.
"Kedudukan Permen itu bertentangan dengan PP. PP itu lebih tinggi keberadaannya dari Permen," ujarnya.
Oleh karena itu, ia mendesak agar Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono tetap menggunakan PP Nomor 36/2022 untuk menetapkan UMP 2023.
"Kami mendorong kepada Pemprov DKI Jakarta untuk menetapkan UMP DKI sesuai dengan PP Nomor 36 Tahun 2021," tuturnya.
Mengacu pada aturan tersebut, Apindo pun mengusulkan kenaikan 2,62 persen dari UMP berjalan sehingga nilai aktualnya sekira Rp 4.763.293.
Sedangkan, besaran kenaikan UMP yang diusukan Kadin ialah 5,11 persen atau naik menjadi Rp 4.879.053.
Walau beda suara dengan Kadin, Nurjaman tak terlalu mempermasalahan hal tersebut.
Ia pun menyebut, rekomendasi dari Apindo dan Kadin bakal sama-sama diusulkan kepada Pj Gubernur DKI Heru Budi Hartono.
Adapun usulan kenaikan yang diajukan oleh pemerintah ialah 5,6 persen atau menjadi Rp 4.901.738.