Cerita Kriminal
Bocah SD di Banten Bakar ODGJ Lalu di Mojokerto Bunuh Teman, Terkuak Penyebab Anak Bisa Berbuat Keji
Masyarakat Indonesia saat ini sedang dihebohkan dengan perbuatan sadis nan keji sejumlah bocah di Banten dan Mojokerto. Apa penyebabnya?
Penulis: Rr Dewi Kartika H | Editor: Yogi Jakarta
TRIBUNJAKARTA.COM - Masyarakat Indonesia saat ini sedang dihebohkan dengan perbuatan sadis nan keji sejumlah bocah di Banten dan Mojokerto.
Di Banten, tepatnya di Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak 4 bocah membakar ODGJ hingga tewas.
Sebelum membakar korban, tiga dari empat pelaku yang masih bersekolah di bangku SD dan SMP ini, mengikat dan menganiaya korban selama tiga hari.
TONTON JUGA
Para pelaku juga sempat mengencingi korban.
Setelah itu, mereka membakar korban di dekat pantai di Kampung Tugu, Desa Bayah Barat, Kecamatan Bayah.
Keempat pelaku berinisial AD (13), MA (14), MI (15), dan HB (13).
AD dan HB saat ini masih duduk di bangku kelas 6 SD, MA kelas 3 SMP, tapi sudah putus sekolah.
Sementara MI tidak bersekolah.

Baca juga: Viral Detik-detik Pesepeda Motor Nyaris Tewas Disambar Kereta di Kalideres, Gara-gara Setan Budeg
Tak kalah sadisnya di Mojokerto, siswi SMP berinisil AB (15) membunuh teman sekelasnya AE (15).
Dalam melakukan aksinya, AB ditemani oleh MA (19) yang bukan teman sekelas korban maupun pelaku.
AB mengaku bahwa dirinya membunuh AE lantaran dendam karena ditagih bayar iuran kelas sebesar Rp 5.000.
AE dibunuh di tempat sepi di area persawahan. AE dicekik oleh AB.
Akibat dicekik pelaku, korban terjatuh.

Baca juga: Pasutri di Kalibaru Asyik Tenggak Miras Jabir di Atas Becak, Auto Keringat Dingin Didatangi Polisi
Kemudian tangan korban diinjak pelaku, sembari tangan pelaku mencekik leher korban hingga tewas.
Setelah tewas, AE diketahui diperkosa oleh MA ketika AB sedang mencari karung dan tali untuk membuang jasad korban.
Apa Penyebab Para Bocah Bisa Bersikap Sadis?
Psikolog Forensik, Reza Indragiri menjelaskan kondisi lingkungan sosial menjadi faktor utama anak-anak bisa bersikap sadis.
"Dari survei yang saya lakukan terhadap para hakim peserta Diklat SPPA, kebanyakan secara empiris menyebut faktor lingkungan sosial sebagai faktor dominan anak melakukan delinkuensi," ucap Reza Indragiri kepada TribunJakarta.com
Reza Indragiri mengatakan namun saat memberikan vonis kepada anak pelaku kejahatan, hakim tidak pernah mendorong dinas terkait untuk memerhatikan soal lingkungan sosial sang anak.
Baca juga: Terkuak Peran 4 Remaja di Lebak Banten Bakar ODGJ Sampai Tewas, Pelaku Paling Bocil Umur 13 Tahun
"Tapi faktanya, putusan hakim dalam kasus anak tidak mendorong dinas-dinas terkait untuk melakukan intervensi terhadap lingkungan sosial anak," kata Reza Indragiri.
"Dengan kata lain, putusan pada kasus anak tetap sama saja dengan putusan pada kasus dewasa,"
"Yakni, yang bersalah adalah anak dan anak pula satu-satunya pihak yang dikenakan perlakuan (baik hukuman maupun tindakan)," imbuhnya.
Pasalnya menurut Reza Indragiri, lingkungan sosial memiliki tanggung jawab besar terhadap perilaku anak-anak.
Baca juga: Detik-detik Menegangkan Damkar Selamatkan Bayi dari Ibu ODGJ di Kemayoran, Sempat Dilempari Piring
"Sistem peradilan pidana harus konsekuen," ujar Reza Indragiri.
"Karena pertanggungjawaban anak juga perlu dipikul oleh lingkungan sosialnya, maka putusan hukum semestinya menggerakkan lembaga-lembaga terkait untuk juga melakukan penanganan terhadap lingkungan sosial si anak tersebut," imbuhnya.
Selain lingkungan sosial yang tidak mendapatkan perhatian dari dinas terkait, Reza Indragiri juga menilai hukuman yang cenderung ringan membuat anak-anak menjadi berani untuk melakukan kejahatan.
"Ya (hukuman ringan berpengaruh). Karena itulah saya mendukung revisi UU SPPA dengan arah pemberatan sanksi," kata Reza Indragiri.
"Bagi anak-anak, hukuman maksimal adalah sepuluh tahun penjara," imbuhnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.