Smart Breeding Sapi Lokal untuk Kesejahteraan Peternak

Istilah “Smart Breeding” digunakan untuk menggambarkan strategi pemuliaan sapi lokal yang didukung penanda.

Editor: Muji Lestari
Istimewa
Eduardus Bimo Aksono Herupradoto, Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga 

Oleh Eduardus Bimo Aksono Herupradoto, Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga

TRIBUNJAKARTA.COM - Populasi sapi di Indonesia saat ini berjumlah 16,6 juta ekor, di mana 43 persen berada di Pulau Jawa, 25 persen di Kepulauan Bagian Timur, dan 32 persen, dan sisanya berada di pulau lain yang tersebar du seluruh Indonesia.

Tahun 2021, kebutuhan daging sapi diperkirakan mencapai hampir 700.000 ton atau setara dengan 3,6 juta ekor sapi.

Namun produksi daging sapi dalam negeri hanya 400.000 ton sapi per tahun.

Kondisi ini diperkirakan akibat adanya pertambahan penduduk, urbanisasi, peningkatan taraf hidup yang menginginkan sapi potong dengan kualitas tertentu.

Kebutuhan daging tersebut disediakan sekitar 6,5 juta peternak kecil di seluruh Indonesia yang memproduksi sekitar 90 persen daging sapi di Indonesia, sedangkan sekitar 10 persen sisanya dihasilkan peternak komersial dan perusahaan sapi potong besar yang terkonsentrasi terutama di Jawa.

Sapi lokal adalah breed hasil persilangan genetik yang diintroduksi dari luar negeri lalu dikembangbiakkan di Indonesia sehingga sapi tersebut sudah beradaptasi baik dengan lingkungan di Indonesia.

Menurut Sutarno dan Setyawan (2015) dari berbagai sumber melaporkan bahwa sapi lokal Indonesia telah mengalami seleksi dari berbagai tekanan iklim tropis basah, dan kemampuan adaptasi terhadap rendahnya kualitas pakan, parasit lokal dan penyakit, sehingga merupakan fenotip adaptif baru.

Adapun contoh sapi lokal antara lain : sapi Madura, sapi Bali, sapi Aceh, sapi pesisir, sapi peranakan ongole (PO), dan lain lain.

Faktor buruknya kualitas genetik sapi, kurangnya sapi jantan unggul, kurangnya kemampuan peternak, dan cara beternak yang masih tradisional merupakan kelemahan pengembangan sapi di Indonesia.

Di samping itu maraknya perkawinan silang sapi lokal dengan sapi eksotik yang tersebar luas tanpa adanya evaluasi dan pengendalian terhadap pentingnya sapi lokal sebagai plasma nutfah yang unik.

Hal ini dikhawatirkan dapat mengakibatkan terkikisnya sumber daya genetik hingga punah.

Hilangnya gen unggul pada sapi yang telah beradaptasi secara lokal dengan kondisi lingkungan setempat akan sulit, atau bahkan tidak mungkin untuk digantikan.

Di sisi lain dalam pengembangan usaha berbasis bangsa ternak dan pelestarian sangat membutuhkan informasi keragaman genetik.

Oleh karena itu perlu penanda spesifik terkait karakteristik populasi atau ras. Secara konvensional, penanda fenotipik dan biokimia telah digunakan untuk mengidentifikasi hewan yang memiliki keunggulan genetik tinggi untuk sifat ekonomi pada sapi.

Halaman
123
Sumber: Tribun Jakarta
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Kardinal Keempat Indonesia

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved