Gedung Balaikota Pertama Jakarta dari Abad 17 Terbengkalai, Kini Jadi WC dan Tempat Tidur Pemulung
Gedung Balaikota Pertama Jakarta dari abad 17 terbengkalai. Kini jadi WC dan tempat tidur pemulung.
Penulis: Gerald Leonardo Agustino | Editor: Ferdinand Waskita Suryacahya
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Gerald Leonardo Agustino
TRIBUNJAKARTA.COM, TAMAN SARI - Sebuah gedung usang berdiri di kawasan Kota Tua Jakarta, tepatnya di Jalan Kali Besar Timur, Taman Sari, Jakarta Barat, persis di seberang aliran Kali Besar.
Berbentuk seperti benteng, bangunan itu memiliki pondasi dari batu bata merah, yang fasadnya dominan dicat warna putih.
Dalam pengamatan TribunJakarta.com 8 Juni 2024 lalu, kondisi gedung ini tampak sudah tak beratap, sementara di dalamnya masih terpasang teralis besi pada bagian jendela.
Ketika didekati, ternyata ada salah satu bagian gedung yang dijadikan ruangan untuk tempat usaha.
Oleh warga setempat, ruangan itu dimanfaatkan menjadi tempat usaha kecil-kecilan berupa toilet umum dan binatu alias laundry.
Meski usang dan terbengkalai, kesan klasik dari eksterior gedung tersebut masih sangat terasa.

Seperti gedung-gedung tua yang tersebar di kawasan Kota Tua Jakarta, gedung ini juga memiliki arsitektur khas Eropa klasik.
Di sekeliling gedung itu juga terdapat trotoar yang banyak dilalui para warga hingga wisatawan mancanegara yang sedang jalan-jalan santai menyusuri Kota Tua.
Tak cuma sebagai tempat pejalan kaki, trotoar yang mengelilingi gedung usang itu juga dijadikan tempat tidur pemulung.
Para pemulung itu juga memanfaatkan area sekitaran gedung untuk memarkirkan gerobak mereka.
Siapa sangka, gedung terbengkalai yang kini jadi WC umum dan tempat tidur pemulung itu dulunya ternyata dijadikan balaikota Jakarta, ketika kota ini masih bernama Batavia.
Hal ini diungkapkan Pamela Zaelani, salah seorang tenaga ahli pemandu wisata UPK Kota Tua, dalam acara walking tour Tiba Bersua: Hari Laut Sedunia besutan Kompas Gramedia, 8 Juni lalu.
Pamela mengungkapkan, bangunan usang tersebut adalah kantor gubernur atau balaikota pertama yang berdiri di Jakarta.
"Gedung pertamanya itu ada di sana yang dibangun pada tahun 1620, namun itu hanya bertahan 6 tahun, karena pada tahun 1626 terjadi sebuah accident kebakaran," ungkap Pamela.
Gedung tersebut dahulunya dibangun oleh Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen pada abad ke-17, sekitar tahun 1620-an.
Diceritakan Pamela, ada sebuah insiden kebakaran yang melanda gedung tersebut, sehingga singkat cerita, balaikota akhirnya dipindahkan ke bangunan yang saat ini dikenal sebagai Museum Fatahillah alias Museum Sejarah Jakarta.
"Jadi kalau kita bilang di Taman Fatahillah itu adalah Stadhuis (balai kota) Batavia yang pertama, bukan," kata Pamela.
Pesona Peradaban Awal Jakarta di Kota Tua

Kali Besar adalah koridor utama kota Batavia yang membentang dari kanal sisi selatan hingga ke tepi laut di pesisir utara.
Kawasan ini satu aliran dengan Kali Ciliwung, dan dulunya memiliki peran besar sebagai jalur perdagangan dan permukiman elit ketika Kota Batavia masih dikuasai Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).
"Di pinggir-pinggir Kali Besar ini, ada berbagai jenis tempat perusahaan, dahulu Belanda ingin menargetkan perdagangannya jauh lebih besar kepada Indonesia. Terutama targetnya mereka ingin menjual rempah-rempah kita," kata Pamela.
Salah satu ikon dari kawasan Kota Tua, terutama area Kali Besar, ialah Jembatan Kota Intan.
Jembatan ini dibangun pada tahun 1628 dan merupakan satu-satunya jembatan jungkit yang masih tersisa di Indonesia.
Jembatan Kota Intan didirikan VOC sebagai gerbang masuk ke Kota Batavia dari Pelabuhan Sunda Kelapa.
Jembatan ini juga punya nama lain yakni Jembatan Pasar Ayam, karena dahulu di sekitarnya banyak pedagang ayam.
"Jadi dari Sunda Kelapa, mereka masuk ke Kota Batavia, itu mereka harus yang namanya mempunyai visa on arrival, yaitu gerbang (masuknya) Jembatan Kota Intan ini," kata Pamela.
Dari Jembatan Kota Intan, bergeser sekitar 500 meter ke utara, terdapat Menara Syahbandar di Jalan Pasar Ikan Nomor 1, Penjaringan, Jakarta Utara.
Menara berusia ratusan tahun ini berdekatan dengan Museum Bahari, dan menjadi salah satu bangunan awal yang menandai peradaban Jakarta.
Keunikan menara setinggi 18 meter ini ada pada struktur bangunannya yang terlihat miring.
"Kenapa dia bisa miring menaranya, karena memang terdampak penurunan muka tanah dan getaran dari kendaraan-kendaraan besar seperti truk kontainer yang melintas di jalanan sebelahnya," ucap Pamela.
Tak jauh dari Menara Syahbandar, terdapat sebuah kawasan yang menjadi salah satu titik terpenting peradaban awal kota Jakarta, apalagi kalau bukam Pelabuhan Sunda Kelapa.
Ini lah pelabuhan pertama di Jakarta, yang dahulunya menjadi tempat berlabuhnya kapal-kapal mancanegara untuk melakukan perdagangan di Kota Batavia.
"Namanya Sunda Kelapa, jadi merujuk pada Kerajaan Sunda, dan kata Kalapa, yang di sekitarnya memang dahulu banyak ditumbuhi pohon kelapa," papar Pamela.
Pelabuhan Sunda Kelapa dibangun pada tahun 1527 di masa kolonial Portugis.
Kemudian, pada 22 Juni 1527, pasukan Kesultanan Demak dan Cirebon yang dipimpin Fatahillah alias Pangeran Jayakarta bersekutu untuk menaklukkan Portugis.
Saat itulah Pangeran Jayakarta mengubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta.
Momen ini juga yang menjadikan tanggal 22 Juni diperingati sebagai HUT Kota Jakarta setiap tahunnya.
Akses TribunJakarta.com di Google News atau WhatsApp Channel TribunJakarta.com. Pastikan Tribunners sudah install aplikasi WhatsApp ya
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.