Hate Speech, Trolling dan War Flaming: Tantangan Besar Demokrasi Digital di Indonesia

Hate speech atau yang sering disebut dengan ujaran kebencian mudah ditemukan dalam kolom komentar media sosial.

Editor: Muji Lestari
Istimewa
Ilustrasi 

Oleh Melisa Arisanty, S.I.Kom., M.Si. Dosen FHISIP Universitas Terbuka

TRIBUNJAKARTA.COM - Pilpres telah berlalu, terbitlah Pilkada yang secara serentak telah diselenggarakan pada tanggal 27 November 2024. 

Momen-momen politik yaitu pesta demokrasi seperti ini akan diwarnai dengan keberagaman opini dan pendapat dari masyarakat. 

Media sosial menjadi media yang berpeluang besar terwujudkan kebebasan berekpresi dari berbagai opini yang berbeda-beda. Maka dari itu, media sosial disebut sebagai pilar kelimanya dari demokrasi. 

Beragam informasi dengan mudah didapatkan di media sosial, baik dari pengguna akun personal, kelompok, komunitas maupun organisasi yang cakupannya besar.

Kebebasan berekspresi dan menyebarkan informasi dalam media sosial menjadi tantangan sendiri bagi para penggunanya.

Berbagai tantangan yang sering muncul di platform media sosial adalah ujaran kebencian (hate speech), trolling dan war flaming.

lihat fotoHate Speech, Trolling dan War Flaming
Hate Speech, Trolling dan War Flaming

Hate speech atau yang sering disebut dengan ujaran kebencian mudah ditemukan dalam kolom komentar media sosial.

Trolling dan War Flaming juga dianggap sebagai perilaku yang merusak demokrasi digital. Keduanya dianggap dapat menimbulkan konflik serta perselisihan antara pengguna media sosial karena biasanya memuat informasi, konten dan komentar yang provokatif dan menghujat satu sama lainnya. 

Lalu dengan beragam tantangan tersebut, apa yang perlu dilakukan oleh pengguna media sosial agar lebih beretika dan bijak dalam penggunaan media sosial.

Pertama, ketika berada di dunia maya khususnya dalam media sosial, perlu kesadaran penuh bahwa bahwa informasi, konten dan komentar yang beredar tidak seluruhnya benar atau sesuai dengan dunia nyata. 

Maka dari itu, jika menerima informasi dan konten apapun dari media sosial, jangan mudah terprovokasi dan emosi sehingga mudah menghujat, menilai, berasumsi dan berkata kasar . 

Selanjutnya, yang kedua, perlu juga kesadaran bahwa dalam media sosial, pengguna media sosial tidak hanya sekedar berinteraksi dengan teknologi digital serta berhadapan dengan konten video , gambar serta kata dan kalimat saja. Namun, kita juga berinteraksi antar sesama manusia menggunakan media sosial (komunikasi bermedia). 

Kesadaran ini yang membentuk Human Literacy, suatu kecerdasan dan pemahaman untuk memahami bagaimana berkomunikasi, berinteraksi serta berhadap dengan manusia lainnya meski dengan perantara beragam media komunikasi.

Human literacy ini membentuk simpati dan empati saat menggunakan media sosial. Dengan begitu, seseorang akan paham bagaimana memanusiakan manusia baik dengan pengguna media sosial yang dikenal maupun tidak dikenal. 

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Kardinal Keempat Indonesia

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved