Tegas Silfester Matutina Diminta Dieksekusi, Susno Duadji Singgung Tempat Kebanggaan di Penjara

Kasus Silfester Matutina memanas, kini Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna menyarankan untuk dieksekusi.

Editor: Wahyu Septiana
TribunJakarta.com/Annas Furqon Hakim
SILFESTER MATUTINA DIPERIKSA - Ketua Solidaritas Merah Putih Silfester Matutina diperiksa. Kasus Silfester Matutina memanas, kini Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna menyarankan untuk dieksekusi. 

"Kisahnya sebagai berikut: Waktu di pengadilan, Silfester minta maaf ke Pak JK. Lalu, pengacara Pak JK menyampaikan ke Pak JK permohonan maaf Silfester," kata Hamid.

Namun, Hamid menyebut, Jusuf Kalla memang memberi maaf, tetapi tetap membiarkan perkara hukum berlanjut.

Apalagi, kasus dugaan pencemaran nama baik/fitnah yang dilakukan Silfester Matutina sudah masuk di tahap penuntutan.

"Pada saat mendengar permohonan maaf itu, Pak JK langsung mengatakan, 'Adalah kewajiban saya memaafkan orang yang minta maaf," itu," jelas Hamid.

"Namun masalah hukum itu adalah masalah negara. Apalagi, ketika dia menyampaikan permintaan maaf, itu sudah di level pengadilan, sudah masuk tahap penuntutan. Jadi, bagaimana caranya mau berdamai?" tambahnya.

Kemudian, Hamid menegaskan, perkara laporan pencemaran nama baik ini sudah termasuk hukum pidana.

Kasusnya pidana dan putusan pun sudah inkrah, sehingga Hamid menilai, Silfester Matutina sudah seharusnya menjalani vonis hukumannya.

Perkara pidana, kata Hamid, tidak bisa diselesaikan hanya dengan kalimat, 'sudah berdamai.'

"Dalam konteks ini, ingin saya tegaskan kasus Silfester ini adalah pidana, bukan perdata yang bisa dikompromikan meskipun ada putusan lembaga hukum," ujar Hamid.

"Dalam konteks ini, putusan menyangkut kasus pidana atas diri Silfester sudah inkrah, sudah berkekuatan hukum tetap, karena dari Pengadilan Negeri, kemudian naik banding tetap dihukum kemudian kasasi, diperkuat hukuman itu menjadi satu setengah tahun," tambahnya.

"Nah, berarti kesimpulannya, secara hukum harus dijalani putusan itu," kata dia.

"Tidak boleh ada lagi mengatakan, 'Saya sudah berdamai.' Ini bukan perdata, ini pidana. Tidak ada dalilnya itu pidana mau didamaikan setelah ada putusan inkrah. Tidak ada," tandas Hamid.

(TribunJakarta/Tribunnews)

Akses TribunJakarta.com di Google News atau WhatsApp Channel https://whatsapp.com/channel/0029VaS7FULG8l5BWvKXDa0f.

Pastikan Tribunners sudah install aplikasi WhatsApp ya

Sumber: Tribun Jakarta
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved