TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pernyataan Direktur Pencapresan PKS, Suhud Alynudin mengenai terciptanya opsi abstain dalam pengusungan calon presiden dan calon wakil presiden, menjadi perbincangan di kalangan politikus.
Meski akhirnya, dia meralat pernyataannya bahwa hal itu merupakan pendapat pribadi.
"Itu pendapat pribadi saya, bukan keputusan resmi partai," klarifikasinya, Jakarta, Kamis (2/8).
Keputusan resmi PKS masih harus melalui pembahasan di Rapat Dewan Pimpinan Tingkat Pusat serta sidang Majelis Syuro PKS.
Dirinya menjelaskan hingga saat ini, pihaknya masih terus berkomunikasi dengan partai koalisi pendukung capres Prabowo Subianto.
Ketua Komite Pemilih Indonesia (TePI), Jeirry Sumampow menjelaskan tidak ada pilihan bagi PKS selain berkoalisi dengan kubu Prabowo. Pilihan abstain justru akan merugikan bagi PKS.
Sesuai peraturan, partai tersebut tidak dapat mengusung dalam pemilu berikutnya.
"Setiap partai tidak mau kehilangan momen untuk mengusung calon presiden pada pemilu berikutnya," ujarnya.
Lebih dari itu, dia mengatakan politik hari ini, memaksa partai politik untuk 'menyerah' pada koalisi.
Mereka yang tidak memiliki figur untuk dicalonkan dalam kontestasi lima tahunan tersebut, akan berkompromi dengan partai yang mempunyai figur.
Menurutnya, keuntungan elektoral justru akan lebih banyak diperoleh kepada partai yang memiliki figur dibandingkan parpol yang hanya ikut dalam koalisi.
Apalagi, ambang batas menjadi hambatan utama tidak dapat mencalonkan sendiri.
"Sesungguhnya, aturan kita memaksa agar partai-partai ini harus berkoalisi. Mau tidak mau, ya harus ada kompromi dari masing-masing partai politik," lanjutnya.
Kata "kompromi" juga dilontarkan oleh Sekjen PAN, Edi Soeparno.
Dirinya menjelaskan banyak hal yang harus dikompromikan oleh partai politik koalisi parpol pendukung capres Prabowo.