Meski sudah selesai, namun menurut pendiri Jakarta Defensive Driving Consulting (JDDC) Jusri Pulubuhu, ada pelajaran berharga yang bisa dipetik dari kasus tersebut, yakni pentingnya berempati saat berkendara.
"Sebenarnya banyak yang bisa dijadikan pelajaran, pertama adalah soal pentingnya memahami regulasi soal berkendara, karena bila bicara kesalahan dia lewat bahu jalan sudah jelas salah. Tapi yang paling penting adalah soal empati sesama pengguna jalan, ini yang selama ini kurang disosialisasikan," ucap Jusri beberapa waktu lalu kepada Kompas.com.
Jusri menegaskan selain edukasi yang sifatnya pengetahuan keselamatan berlalu lintas, sikap empati atau rasa peduli sesama pengguna jalan juga tidak kalah penting untuk diperhatikan.
Hampir setiap kasus arogan atau emosi di jalan raya biasanya diakibatkan masalah yang sebenarnya sepele, tapi karena terpancing emosi dan juga rasa ego, maka bisa memicu sebuah konflik.
Dalam kasus pengendara Fortuner arogan, bila dicermati sebenarnya ujung masalahnya cukup sederhana, yakni adanya sifat ego dari masing-masing pengendara.
Pelaku merasa tak terima karena saat akan menyalip dari bahu jalan dihalangi oleh mobil korban, sementara itu, korbannya mempertahankan egonya untuk tak memberikan jalan ke pelaku agar bisa tertangkap polisi.
"Dari segi kacamata kita mungkin hal tersebut wajar dilakukan korban, karena dia pada posisi benar, sementara si pelaku ini melanggar lalu lintas. Tapi ujungnya kita tidak tahu bila ternyata apa yang menurut kita benar akan menimbulkan konflik dan memiliki risiko kerugian bagi kedua belah pihak," kata Jusri.
"Ini bukan pertama kalinya, saya sudah banyak melihat kasus seperti ini, bahkan sampai ada yang akhirnya adu jotos dan meninggal dunia karena serangan jantung beberapa tahun lalu di Jagorawi, masalahnya karena terpancing emosi di jalan raya yang harusnya bisa dihindari bila para pengendara memiliki sikap empati," ujar Jusri.
Sikap empati di jalan raya bagi sebagian pengendara di Indonesia memang masih minim, contoh paling sederhana adalah soal paradigma kendaraan besar yang dianggap selalu salah dibandingkan kendaraan yang lebih kecil, layaknya mobil dengan motor.
Padahal belum tentu semua pengendara mobil salah, bisa saja pemotor yang melanggar dan mengakibatkan konflik.
Oloan Nadaek (35) tersebut telah meminta maaf langsung sebanyak tiga kali kepada korban yang merupakan pasangan suami istri, Ridho Laksamana dan Siti Maninda Pulungan di Polda Metro Jaya pada Selasa (16/4/2019).
"Dia (Oloan) mengakui enggak ada alasan yang membenarkan dia berbuat seperti itu. Dia khilaf, dia tau dia salah, dia tau kalau hal ini tidak sepantasnya dia lakukan, dia tau dia merugikan banyak pihak,” ujar Siti Maninda kepada, Selasa malam usai menjalani pemeriksaan di Polda Metro Jaya.
• Viral Arogansi Pengemudi Fortuner B 1592 BJK, Lewat Bahu Jalan Tol hingga Ngamuk Injak Kap Mobil
“Kebetulan kita sama-sama orang Batak. Jadi, kalau orang Batak menundukkan kepalanya sudah sampai ke bawah sekali dan menaikkan sepuluh jarinya ke atas itu artinya dia sudah sangat memohon."
"Sekitar tiga kali pas papasan dia minta maaf dan dia meminta izin penyidik untuk bersalaman dengan saya dan suami, dia minta tolong dimaklumi kesalahannya."
Maninda dan suami juga mengaku telah memaafkan Oloan yang kini menjadi tersangka dan dijerat Pasal 335 KUHP, tentang pengancaman dengan hukuman maksimal 1 tahun penjara.
Mereka bertiga mengklaim sudah bersalaman, bahkan berpelukan selama pemeriksaan di Ditreskrimum Polda Metro Jaya sejak Selasa siang. (WartaKota/Kompas.com/TribunJabar)