Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Satrio Sarwo Trengginas
TRIBUNJAKARTA.COM, SEMANGGI - Di sekitar kolong jembatan Semanggi, Sukroni (45) berjualan tuak aren.
Para pengendara motor yang melintas sesekali menepi untuk menenggak segelas tuak aren itu di tengah panas matahari yang menyengat.
Kedua tangan Sukroni dengan cepat menuangkan air tuak dari sebilah bambu besar ke gelas.
Tak sampai semenit, air tuak itu tandas diminum pengendara motor yang singgah sejenak kemudian dengan sekejap pergi.
Saat menandaskan segelas tuak aren yang dingin itu, cuaca panas seakan turut larut dalam dahaga.
Pasalnya, bambu berisi tuak itu telah dicampur oleh es batu di dalamnya.
Sukroni kerapkali meletakkan pikulannya di bawah pepohonan rindang pinggir jalan agar para pengendara bisa menepi sebentar.
Empat bilah bambu Betung (bambu besar) berisi tuak aren tergantung di ujung kedua sisi pikulan.
Semua rangka pikulan berbahan dasar bambu.
Pikulan yang sering ia gantungkan di pundaknya diletakkan di pinggir jalan.
Sembari berjualan di sana, ia tetap waspada apabila sewaktu-waktu Satpol PP datang menyergap.
"Saya sambil melihat-lihat, takut kalau petugas datang mendadak. Kalau aman diem di sini, kalau gawat saya jalan," ungkap Sukroni saat ditemui pada Jumat (2/7/2019).
Berjualan tuak aren sudah dilakoni Sukroni sejak bertahun-tahun lamanya.
Sejak tahun 1991, ia telah berjualan tuak aren di bilangan Semanggi dan sekitarnya.
"Dari saya bujangan sudah jualan ini, sekitar tahun 91 di sini," bebernya.
Dari Leuwiliang ke Semanggi
Segelas air tuak nira yang ditenggak para pembeli dibawa langsung dari Leuwiliang, Kabupaten Bogor.
Sejak pukul empat pagi, Sukroni telah pergi dari rumahnya di Leuwiliang menuju Jakarta dengan membawa dirigen berisi tuak aren.
Ia menuju Jakarta menggunakan kereta api.
"Orang lain yang bikin di daerah Bogor, saya tinggal jual aja di Jakarta. Kita beli airnya di sana," katanya.
Sesampainya di Jakarta, ia pun menuju ke bilangan Kebayoran Lama untuk mengisi pikulan bambu dengan air tuak.
Dalam sehari berjualan tuak nira itu, ia mendapatkan Rp 300 ribu, setengahnya untuk setoran.
Kegiatan itu ia lakukan setiap hari hingga saat ini.
Dari Harga Rp 500 hingga Rp 5000
Tuak yang dijual Sukroni tak kenal batas kelas sosial, semua kalangan menggemari minuman yang dijualnya.
"Dari ojek online hingga istilahnya orang berdasi menaiki mobil mewah suka dengan tuak saya," lanjutnya.
Selain itu, para pegawai kantoran di sekitar Semanggi juga suka membeli tuaknya.
"Kalau lagi istirahat banyak para pegawai yang beli. Disamping enak rasanya, bikin seger badan," terangnya.
Sukroni mengatakan justru usahanya itu lebih menuai banyak untung saat ini ketimbang pada saat dulu pertama kali berjualan.
Sebab, dulu penjual tuak aren lebih banyak sedangkan sekarang hanya segelintir saja yang masih menjualnya.
"Dulu dari harganya Rp 5 ratus sampai sekarang Rp 5 ribu masih saya jual," tambahnya.
Bahkan, ketika ada demonstrasi di depan DPR atau car free day di akhir pekan, ia malah keruntuhan banyak rezeki.
"Setengah hari saja kalau ada demo, pasti ludes," ujarnya.
Dari tuak nira ini, Sukroni bisa menghidupi ketiga anaknya yang tinggal di Leuwiliang.
Minuman Zaman Dulu
Dulu, keberadaan penjual minuman tuak aren tak sulit untuk ditemui.
Dalam buku yang berjudul Tenabang Tempo Doeloe karya Abdul Chaer, saat itu penjaja minuman tuak aren banyak dijumpai di Tanah Abang.
Abdul Chaer menceritakan, hingga era 1950 an dan 1960 an di sekitaran Tanah Abang banyak dijumpai pedagang tuak berkeliling di tempat-tempat ramai.
Seperti di muka pasar, atau pangkalan delman dengan membawa atau memikul dua atau empat lodong tuak yang terbuat dari bambu Betung.
• Polisi Masih Memburu Satu Orang Pemasok Ganja untuk Artis Jefri Nichol
• Pelaku Murka Kode Ponsel Tak Sesuai dengan Tanggal Jadian, Begini Fakta Terbaru Kasus Prada DP
• Persiapan Kapolres Jakarta Selatan Kombes Pol Indra Jafar Sebelum Ikut Kegiatan Donor Darah
• 3 Tersangka Penyelundup Narkoba di Rutan Salemba dari Jaringan Aceh
• Kapasitas Mina Perlu Ditingkatkan Sebelum Tambah Kuota Jemaah Haji, Begini Penjelasannya
Biasanya, kala itu, tuak disandingkan dengan kue lepet atau makanan dari ketan yang dibungkus dengan daun kelapa muda.
Namun, kini keberadaan mereka terbilang sulit untuk ditemui.
Hilangnya para pedagang tuak akibat pembongkaran kampung-kampung untuk berbagai proyek pembangunan.
"Minuman ini udah ada lama banget. Istilahnya dari zaman kakek nenek saya udah pada 'lulus', minuman ini sampai sekarang masih saya jual," tandasnya.