TRIBUNJAKARTA.COM - Pakar Hukum Pidana, Prof Romli Atmasasmita menilai perlunya dibentuk pengawasan terhadap KPK terkait revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Namun, kata dia, pengawas itu harus melekat di struktur.
“Revisi UU KPK itu harus, pembentukan pengawas harus. Namanya apa kek, mau dewan atau lainnya, tapi harus ada pengawasan yang melekat nempel di struktur, bukan di luar struktur,” kata Romli saat dihubungi wartawan, Selasa (10/9/2019).
Tetapi, kata dia, untuk siapa yang duduk mengisi sebagai pengawas tentu dibicarakan lagi nantinya.
Hanya saja, jangan sampai orang yang duduk sebagai pengawas tugas KPK justru diawasi.
“Jangan nanti pengawas itu orangnya harus diawasi. Jadi ada bahasa who control, the controlers. Pertanyaannya sekarang siapa? Apa malaikat lagi atau setengah malaikat?,” ujarnya.
Pada prinsipnya, Prof Romli mengatakan revisi UU KPK itu sudah suatu keniscayaan.
Karena, kalau diibaratkan dengan kendaraan mobil itu tidak ada yang dipakai terus sudah berusia 17 tahun.
Namun, paling tidak diperbaiki onderdil dan lainnya.
“Gubernur saja tuh Anies Baswedan mobil diatas 10 tahun tidak boleh masuk Jakarta. Kenapa? Karena bisa kecelakaan. Nah ini sama, perilaku pimpinan KPK sudah terbiasa megang mobil yang butut, kemudian dianggap seperti biasa,” jelas dia.
Di samping itu, Prof Romli juga menyoroti tentang penyadapan.
Menurut dia, penyadapa ini perlu direvisi mengenai prosedur. Karena, ada beberapa syarat terkait KPK bisa melakukan penyadapan.
“Siapa objeknya, siapa subjek, apa masalahnya, berapa lama disadap, kepada siapa harus bertanggungjawab. Nah, mekanisme ini tidak ada di KPK, ini blong,” katanya.
Kemudian, kata dia, operasi tangkap tangan (OTT) juga menjadi polemik. Menurut dia, operasi tangkap tangan itu dimulai dari penyadapan. Jadi, gaya KPK itu sadap dulu baru diintip orang tersebut.
Padahal, Prof Romli mengatakan apabila KPK sudah menyadap seseorang dan tahu akan terjadi suatu peristiwa dugaan tindak pidana korupsi.