Adapun protes tersebut dilayangkan oleh para orang tua murid lantaran menganggap jalur zonasi PPDB 2020 mementingkan usia siswa, bukan prestasi.
Anak buah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ini menjelaskan, kriteria pertama PPDB lewat jalur zonasi ini tetap berdasarkan tempat tinggal atau domisili calon peserta didik.
Hal ini telah diatur dalam Surat Keputusan (SK) Kepala Dinas Pendidikan No 506/2020 tentang Penetapan Zonasi Sekolah untuk Penerimaan Peserta Didik Baru Tahun Pelajaran 2020/2021.
Kemudian, bila PPDB jalur zonasi melebihi daya tampung, maka seleksi bakal dilakukan berdasarkan usia, urutan pilihan sekolah, dan waktu pendaftaran.
"Usia yang lebih tua didahulukan. Sistem sekolah pun dirancang sesuai dengan tahap perkembangan anak, karena itu, disarankan agar anak tidak terlalu muda saat masuk suatu jenjang pendidikan," ucapnya, Senin (15/6/2020).
Nahdiana menyebut, pihaknya memprioritaskan usia siswa yang lebih tua di jalur zonasi untuk memberi kesempatan kepada setiap anak untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas.
"Hal ini dilatarbelangi oleh fakta di lapangan bahwa masyarakat miskin justru tersingkir di jalur zonasi lantaran tidak dapat bersaing secara nilai akademik dengan masyarakat mampu," ujarnya.
"Oleh karena itu, kebijakan baru diterapkan, yaitu usia sebagai kriteria seleksi setelah siswa tersebut harus berdomisili dalam zonasi yang ditetapkan, bukan lagi prestasi," sambungnya.
Meski demikian, ia mengaku, pihaknya juga memperhatikan dan tidak mengabaikan prestasi para siswa.
Hal ini dibuktikan dengan masih dipertahankannya PPDB jalur prestasi untuk menyeleksi siswa berprestasi, baik itu akademik maupun non-akademik.
"Prinsipnya, kami berupaya menjamin keseimbangan antara variabel prestasi dengan kesempatan bagi mastarakat miskin untuk menikmati pendidikan yang berkulitas di sekolah negeri," kata Nahdiana.
Dengan demikian, ia berharap, seluruh anak di Jakarta, khususnya berasal dari keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah bisa memperoleh pendidikan dengan kualitas baik.
Sebab, selama ini prestasi akademik kerap mencerminkan kondisi sosial ekonomi, seperti fasilitas belajar di rumah, kegiatan les tambahan, hingga ketersediaan buku-buku penunjang lainnya.
Padahal, pendidikan harus terjangkau oleh semua, tidak terbatas bagi mereka yang berprestasi tinggi saja.
"Dengan begitu, masyarakat dari keliarga miskin juga tidak langsung tersingkir di jalur zonasi," tuturnya.