Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Bima Putra
TRIBUNJAKARTA.COM, CIPAYUNG - Pengurus makam Mbah Datuk Banjir Pangeran Syarif Hidayatullah memperketat peziarah yang datang.
Makam Mbah Datuk Banjir berlokasi di Jalan Kramat RT 04/RW 02, Kelurahan Lubang Buaya, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur.
Yanto Wijoyo (45), pengurus makam, mengatakan pengetatan ini guna mencegah peziarah yang datang tidak memiliki niat tulus beribadah.
Pengetatan ini berlaki bila ada peziarah hendak tirakat atau berdiam diri di makam dengan niat beribadah hingga menginap di lokasi makam selama beberapa hari.
"Zaman lagi seperti ini harus kita perketat. Kalau zaman dulu masih banyak orang jujur, orang benar," ucap keturunan kesembilan Mbah Datuk Banjir ini, Sabtu (17/4/2021).
Baca juga: Sosok Mbah Datuk Banjir, Ulama Pejuang Pencetus Nama Lubang Buaya
"Kalau sekarang kita perketat, bukan enggak boleh. Cuma kalau kira-kira meragukan ya enggak saya kasih (tidak boleh menginap)," ia menambahkan.
Pengurus akan menanyakan maksud peziarah tirakat di makam Mbah Datuk Banjir.
Mbah Datuk Banjir merupakan alim ulama sekaligus pejuang melawan penjajahan Belanda abad ke-7 itu.
Bila peziarah tersebut tidak memiliki niat tulus beribadah di makam pencetus nama Lubang Buaya yang kini digunakan sebagai nama Kelurahan, maka pengurus akan melarangnya menginap.
Baca juga: Ngabuburit di Rumah Belanda Keluarga Achmad Soebardjo: Napak Tilas Bapak Pendiri Bangsa
Baca juga: Menengok Makam Keluarga Habib Ali Al Habsyi dan Wasiatnya di Masjid Jamiah Al-Riyadh
Baca juga: Pantangan Ziarah ke Makam Datuk Banjir, Aparat Dilarang Pakai Seragam
"Sebenarnya banyak (peziarah) yang datang ibarat mengecewakan, cuman saya enggak mau sebut, biarin saja," ucap dia.
"Dia sendiri pada yang bicaranya sok benar, tapi praktiknya memalukan lah. Konyol, sok pintar tapi penerapannya enggak benar," Yanto menambahkan.
Sebagai keturunan Mbah Datuk Banjir, Yanto diamanatkan oleh leluhurnya menjaga makam yang kini ditetapkan Pemprov DKI Jakarta sebagai satu situs wisata religi.
Baca juga: Pantangan Ziarah ke Makam Datuk Banjir, Aparat Dilarang Pakai Seragam
Sebagai warga Kelurahan Lubang Buaya dia juga bertanggung jawab mencegah orang memiliki niat buruk, pasalnya lokasi makam Mbah Datuk Banjir di permukiman.
"Jangan sampai istilahnya ada tamu-tamu ini percuma kalau ada yang menunggu tapi ketika salah kita enggak bilangin. Ke lingkungan juga jangan sampai kita istilahnya memasukkan orang-orang yang enggak jelas," tuturnya.
Yanto mengatakan tidak pernah membedakan peziarah yang datang berdasar asal dan statusnya, baik pejabat hingga warga biasa semua diterima dan diperlakukan sama sebagai peziarah.
Dia hanya membedakan peziarah berdasarkan niat mereka datang, dengan niat tulus beribadah kepada Allah SWT atau justru melalukan hal yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.
"Makannya kalau ada yang datang saya tanya di mana tinggalnya, maksud kemari apa. Kalau peziarah datangnya sih dari mana saja, namanya kita enggak undang."
"Ada yang dekat, ada yang jauh. Kalau benar-benar mau ziarah, tirakat, riyadhoh ya silakan," lanjut Yanto.
Pertarungan dengan Siluman Buaya
Selama ini Lubang Buaya dikenang dalam sejarah sebagai lokasi tragedi tujuh Pahlawan Revolusi dibunuh pada 30 September 1965.
Jauh sebelum peristiwa berdarah itu, Lubang Buaya sudah ada dan digunakan sebagai nama lokasi yang berbatasan dengan Pondok Gede.
Mbah Datuk Banjir Pangeran Syarif Hidayatullah adalah pencetus nama Lubang Buaya.
Yanto berkisah, tercetusnya nama Lubang Buaya berawal saat leluhurnya melakukan perjalanan ke Jakarta pada abad 7.
Baca juga: Ini Sebagian Karomah Habib Kuncung di Rawajati: dari Kisah Kereta Api hingga Tukang Delman
"Menurut cerita kakeknenek saya, sebelum sampai kemari melakukan perjalanan melalui rute Kali Sunter. Mengendarai kendaraan dari bambu, disebut getek kalau enggak salah," kata Yanto.
Dalam perjalanannya itu, getek yang digunakan Mbah Datuk Banjir Pangeran Syarif Hidayatullah seolah tersedot ke lubang hingga menyentuh bagian dasar Kali Sunter.
Namun, Mbah Datuk Banjir tidak sampai terseret ke lubang, dia berhasil tiba di daratan.
"Memang di Kali Sunter itu ada penguasanya zaman dulu. Ya selain buaya-buaya biasa ada penguasa gaib yang disebut siluman buaya putih," ujarnya.
Merujuk keterangan leluhurnya, buaya putih penguasa Kali Sunter tersebut dikisahkan bernama Pangeran Gagak Jakalumayung yang memiliki anak berjuluk Mpok Nok.
Mpok Nok berwujud buaya tanpa ekor atau disebut warga buaya buntung.
Mbah Datuk Banjir Pangeran Syarif Hidayatullah pun lalu berkelahi dengan keduanya.
"Mbah Datuk Banjir kan datang kemari sebagai pendatang. Masuk di kampung ini berhadapan dengan halangan-halangan daripada jin, penguasa Kali Sunter. Akhirnya bisa ditaklukkan dan akhirnya bisa dijadikan, bahasa kasarnya santrinya lah," tuturnya.
Setelah menaklukkan 'penguasa' Kali Sunter, Mbah Datuk Banjir mencetuskan nama Lubang Buaya, kala itu nama tersebut mengacu pada kampung.
Dalam menyebarkan agama Islam, Mbah Datuk Banjir disambut baik warga setempat yang kala itu bertani padi sebagai profesi utamanya.
Baca juga: Kisah Masyhur Habib Kuncung yang Jenazahnya Sempat Tak Bisa Diangkat, Ini Alasannya
Warga Lubang Buaya diajarkan ilmu bela diri untuk melawan penjajah Belanda yang datang menaklukkan Jakarta.
"Mbah Datuk Banjir secara enggak langsung melindungi Kampung Lubang Buaya ini dengan bentuk kesakitan dan karmahnya. Sehingga kampung ini terlihat seperti laut, tidak bisa diinjak penjajah Belanda, enggak bisa masuk," lanjut Yanto.
Dikisahkan, Mbah Datuk Banjir memiliki sejumlah senjata pusaka yang digunakan untuk berperang.
Dua di antaranya Golok Si Bule dan Keris Bengkok. Kedua benda pusaka ini kini tersimpan di area pemakaman Mbah Datuk Banjir Pangeran Syarif Hidayatullah.
" Meninggalnya bukan saat berperang, kalau bahasa spiritualnya memang sudah harus pindah," sambung Yanto.