Lebih parah dari itu, dicap merah pimpinan KPK merupakan sesutu yang sungguh berat.
Pasalnya, dicap merah gara-gara tak lolos TWK benar-benar memiliki dampak nyata.
Apalagi pimpinan KPK yang menyatakan hal itu tak pernah memberikan klarifikasi atas pernyataan tersebut.
Karena itu, berjualan nasi goreng pinggir jalan merupakan salah satu cara dia berpaling, mengisi kekosongan dengan melakukan kegiatan produktif pasca diberhentikan dari KPK.
"Tes seperti ini kan bukan hanya kita aja yang pernah melakukan, dilakukan juga di lembaga lain contoh menjadi calon tentara harus juga mengikuti TWK," kata Tigor.
Hanya saja, mereka yang ikut tes TWK di lembaga lain dan dinyatakan tak lolos tidak dicap merah atau dikategorikan tidak bisa dibina.
"Apakah calon-calon (pegawai lembaga lain) tidak lolos itu kemudian distigmanisasi bahwa dia merah dia tidak bisa dibina, kan enggak gitu juga kan," tuturnya.
"Lah kenapa kami yang tidak lolos (TWK di KPK) kemudian diberikan pernyataan seperti itu (cap merah tidak bisa dibina), itu yang menurut pandangan saya pribadi sangat memberatkan kami," ucapnya.
Harusnya lanjut Tigor, Pimpinan KPK yang sekarang mengklarifikasi apa yang mereka ucapkan.
Sebab, dampak sosial dari predikat cap merah gara-gara tak lolos TWK tentu saja merugikan.
"Harusnya kemudian yang menyatakan hal itu mengklarifikasi, inikan enggak, inikan seolah-olah dinyatakan kemudian ya sudah dibiarkan begitu saja," terang dia.
Baca juga: Ahli Hukum Eks Pegawai KPK Kini Jualan Nasi Goreng: Kalau Itu Sesuai Hati Nurani Jalani Aja
Masih Belajar
Tigor mengaku, usaha jualan nasi goreng dijalankan bersama teman-teman gerejanya.
Mereka biasanya aktif berdiskusi atau kumpul-kumpul di daerah Kampung Sawah (KS) Bekasi.
Modal usaha jualan nasi goreng pinggir jalan ini merupakan patungan, Tigor bersama satu orang temannya sama-sama berinvestasi masing-masing Rp4 juta.
"Modalnya itu satu orang Rp4 juta, jadi totalnya Rp8 juta, yang susah itu kalau usaha mulainya,