TRIBUNJAKARTA.COM - Berikut enam fakta pagar bambu misterius sepanjang 30 kilometer di perairan Kabupaten Tangerang.
Penampakan pagar bambu misterius itu viral di media sosial.
Kini, pagar bambu itu disegel Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) pada Kamis (9/1/2025).
Tim PSDKP melakukan peninjauan langsung dengan menggunakan tiga kapal operasional serta satu unit sea rider.
Petugas berangkat dari Dermaga Muara Baru menempuh perjalanan selama sekitar 2 jam ke perairan tersebut.
Tiga kapal operasional itu masing-masing kapal pengawas (KP) Orca 2, KP Hiu 06, dan KP Hiu Biru 03.
Kemudian, petugas Ditjen PSDKP mendekati area lautan yang dipasangi pagar bambu dengan menggunakan sea rider. Mereka lalu memasang segel di tiga titik pagar bambu.
TribunJakarta.com merangkum fakta-fakta mengenai pagar bambu misterius tersebut:
1. KKP Desak Pemilik Bongkar
Direktur Jenderal PSDKP Pung Nugroho Saksono mengatakan, penyegelan merupakan tindakan awal.
Dimana pemerintah memberikan waktu selama 20 hari ke depan untuk pihak yang memasang pagar untuk membongkarnya secara mandiri.
Jika tidak, Pung Nugroho menegaskan pemerintah akan membongkar pagar itu.
"Saat ini kita hentikan kegiatan pemagaran sambil terus dalami siapa pelaku yang bertanggung jawab atas kegiatan ini," kata Ipung, sapaannya dari atas KP Orca 2, Kamis malam.
Ipung mengatakan, kegiatan pemagaran dihentikan lantaran diduga tidak memiliki izin dasar Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) serta berada di dalam Zona Perikanan Tangkap dan Zona Pengelolaan Energi yang menimbulkan kerugian bagi nelayan dan kerusakan ekosistem pesisir.
Ini juga sesuai arahan Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, yang meminta bahwa segala kegiatan pemanfaatan ruang laut yang tidak memiliki izin dasar dan berpotensi merusak keanekaragaman hayati serta menyebabkan perubahan fungsi ruang laut seperti pemagaran laut ini untuk segera dihentikan.
Sebab tidak sesuai dengan praktek internasional United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982) dan mampu mengancam keberlanjutan ekologi.
2. Investigasi Polsus
Direktur Jenderal PSDKP Pung Nugroho Saksono mengungkapkan tim gabungan Polisi Khusus (Polsus) Kelautan Ditjen PSDKP serta Dinas Kelautan dan Perikanan Banten telah melakukan investigasi di desa dan kecamatan sekitar lokasi pemagaran laut pada September 2024.
Dari hasil investigasi dan Pengambilan foto udara/drone pemagaran laut dimulai dari Desa Margamulya sampai dengan Desa Ketapang.
Kemudian Desa Patra Manggala sampai dengan Desa Ketapang. Diketahui konstruksi bahan dasar pemagaran merupakan cerucuk bambu.
Melengkapi pernyataan Ipung, Direktur Pengawasan Sumber Daya Kelautan, Sumono Darwinto menjelaskan bahwa lokasi pemagaran berada dalam Zona Perikanan Tangkap dan Zona Pengelolaan Energi sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang DKP Provinsi Banten Nomor 2 Tahun 2023.
“Tim juga melakukan analisis foto drone dan arcgis, diketahui kondisi dasar perairan merupakan area rubble dan pasir dengan jarak lokasi pemagaran dari perairan pesisir berdasarkan garis pantai sejauh kurang lebih 700 meter. Berdasarkan e-seamap, kegiatan pemagaran tersebut tidak memiliki Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL),” ungkap Sumono.
3. Kerugian Capai Rp 8 Miliar
Ombudsman RI mengatakan pagar bambu ilegal dan merugikan masyarakat, khususnya bagi nelayan.
“Pagar ini harus segera dicabut karena merugikan masyarakat,” kata anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika dalam keterangannya yang diterima Kompas.com, Kamis (9/1/2025).
Yeka menyebut, para nelayan di Kecamatan Kronjo, Kabupaten Tangerang mengalami kerugian hingga Rp 8 miliar akibat pagar bambu itu.
Dia menjelaskan, pagar tersebut menghalangi akses nelayan.
4. Bukan Kawasan PSN
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika menegaskan pagar bambu itu tidak termasu kawasan Proyek Strategis Nasional (PSN).
“Ini bukan kawasan PSN (Proyek Strategis Nasional), tetapi ada pemasangan pagar bambu yang membatasi ruang gerak nelayan," kata dia.
Selain itu, Ombudsman juga menemukan aktivitas lain seperti penimbunan tambak dan aliran sungai tanpa izin.
5. Rusak Ekosistem
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika mengatakan aktivitas lain di kawasan pagar bambu bisa merusak ekosistem.
Aktivitas lain itu seperti penimbunan tambak dan aliran sungai tanpa izin.
Aktivitas tersebut disebut dapat merusak ekosistem serta alur air di perairan yang terletak di Desa Muncung, Kronjo, Kabupaten Tangerang itu.
Yeka menyebut, aktivitas ini juga berpotensi meningkatkan risiko banjir dan menurunkan produktivitas tambak warga.
Sementara, Kepala Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Banten, Fadli Afriadi menyebut, temuan pagar bambu ini merupakan hasil Investigasi Atas Prakarsa Sendiri (IAPS) yang dilakukan Ombudsman berdasarkan temuan dugaan maladministrasi.
“Kami mendalami aspek perizinan, pengawasan, dan penegakan hukum terkait pemagaran laut serta penimbunan sungai ini," jelas Fadli.
Berangkat dari temuan ini, Fadli menambahkan, Ombudsman akan memeriksa dugaan pengabaian kewajiban hukum oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten serta Balai Besar Wilayah Sungai Cidanau Ciujung Cidurian (BBWS C3).
6. Warga Diupah Rp 100 Ribu
Kepala Perwakilan Ombudsman RI Wilayah Banten, Fadli Afriadi mengungkapkan pagar bambu tersebut didirikan oleh warga pada malam hari dengan upah harian sebesar Rp 100.000 sejak Juli 2024.
Meski demikian, identitas pihak yang memerintahkan pemasangan pagar ini belum terungkap.
"Siapa yang melakukan (pemasangan pagar) belum teridentifikasi," kata Fadli kepada Kompas.com.
Ia juga menambahkan, pagar tersebut memiliki pintu setiap 400 meter yang memungkinkan perahu masuk, tetapi di dalamnya terdapat lapisan pagar lain.
"Pagar tersebut berbentuk seperti labirin," jelasnya.
Pagar laut tak berizin Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Banten menyatakan bahwa pemagaran ini melanggar aturan yang berlaku karena tidak memiliki izin resmi.
Kepala DKP Banten, Eli Susiyanti, menegaskan bahwa laut seharusnya menjadi wilayah terbuka. Eli menyebut, pagar ini membentang di sepanjang 16 desa yang melibatkan enam kecamatan di Kabupaten Tangerang. Kawasan ini adalah tempat tinggal sekitar 3.888 nelayan dan 502 pembudi daya.
Pemasangan pagar juga melanggar Perda Nomor 1 Tahun 2023 yang mengatur zona-zona perairan untuk berbagai kepentingan, termasuk perikanan tangkap, pariwisata, hingga rencana pembangunan waduk lepas pantai. (TribunJakarta.com/Kompas.com)
Akses TribunJakarta.com di Google News atau WhatsApp Channel TribunJakarta.com. Pastikan Tribunners sudah install aplikasi WhatsApp ya