Waspadai Konflik Global di Timur Tengah, Eks Napiter Singgung Propaganda Kelompok Garis Keras

Editor: Wahyu Septiana
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

KONFLIK TIMUR TENGAH - Mantan narapidana terorisme (napiter), Arif Budi Setyawan. Konflik global yang terjadi kerap dimanfaatkan oleh kelompok garis keras untuk menyebarkan ideologi, propaganda, perekrutan hingga pengumpulan donasi.

TRIBUNJAKARTA.COM - Mantan narapidana terorisme (napiter), Arif Budi Setyawan menyoroti konflik global yang kini terjadi di Timur Tengah.

Saat ini di Timur Tengah sedang memanas konflik antara Iran dan Israel, Palestina dan Israel, India dan Pakistan, serta konflik Suriah.

Konflik global yang terjadi, kata Arif, kerap dimanfaatkan oleh kelompok garis keras untuk menyebarkan ideologi, propaganda, perekrutan hingga pengumpulan donasi. 

Arif menekankan perlunya masyarakat berfikir kritis dalam menanggapi isu-isu global. 

Menurutnya, konflik di Timur Tengah, bukan semata karena agama, melainkan ada kepentingan lain seperti ideologi, ekonomi, politik dan sebagainya. 

“Perang itu pasti punya motif politik dan ekonomi. Perang itu butuh energi, butuh pasukan, dan butuh motivasi yang kuat," ujar Arif kepada wartawan, Rabu (18/6/2025).

"Dan motivasi agama memang sering digunakan untuk menggerakkan orang untuk berperang,” sambungnya.

Arif mengatakan, masyarakat perlu mencermati narasi dan tujuan yang dibangun oleh kelompok garis keras. 

Kang Dedi Mulyadi alias KDM mencak-mencak karena wilayah kekuasaannya hancur disebabkan sebuah proyek di kota-kota besar Jakarta dan sekitarnya. Kini Gubernur Pramono berani pasang badan mau tanggung jawab

Menurut Arif, masih adanya narasi ekstrem di media sosial yang berpotensi memecah belah masyarakat.

Misalnya menghardik, memusuhi, mengkafirkan orang lain yang tidak sependapat.

Hal ini akan berpotensi terjadinya polarisasi di masyarakat yang berdampak pada kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Narasi itu ke mana arahnya? Tidak serta merta langsung mengiyakan, menyetujui, tapi berpikir kritis dengan mempertanyakan apa akan berdampak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?” ujar pria 43 tahun asal Tuban, Jawa Timur. 

Mantan simpatisan Jamaah Islamiyah ini mengemukakan pola narasi yang kerap dimainkan oleh kelompok garis keras.

Narasi yang dibangun sering kali menyederhanakan konflik menjadi pertarungan hitam-putih, sehingga menutup ruang untuk analisis yang jernih dan dialog yang konstruktif, apalagi mengaburkannya dengan pemahaman agama untuk memicu polarisasi sosial. 

Misalnya, Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) dan kelompok pendukungnya akan membawa narasi konflik global ke arah penegakkan syariat atau pendirian negara Islam.

Kemudian, kelompok mantan Jamaah Islamiyah akan membawa narasi konflik ini sebagai peluang untuk membangun jihad global.  

“Misalnya ISIS, meskipun menggunakan narasi agama, tujuannya tidak murni untuk membela Islam, tetapi lebih kepada penguasaan wilayah dan kekuasaan global. Ini adalah bagian dari permainan politik internasional,” kata Arif.

Arif mengklaim, boleh untuk memiliki sikap dan pandangan terhadap suatu isu, menaruh simpati dan memberikan donasi.

Namun masyarakat perlu juga menyelaraskan pandangan politik resmi negara dan melakukan donasi kepada lembaga yang terverifikasi. 

“Karena konflik antar negara jika disikapi secara individu, kemudian mengirimkan kader (berhijrah), bisa jadi nanti terjebak seperti fenomena ISIS,” tandas Arif. 

(TribunJakarta)

Akses TribunJakarta.com di Google News atau WhatsApp Channel https://whatsapp.com/channel/0029VaS7FULG8l5BWvKXDa0f.

Pastikan Tribunners sudah install aplikasi WhatsApp ya

Berita Terkini