Ledakan di SMAN 72 Jakarta
“Kita Terlambat” Pakar Psikologi Sindir Lemahnya Penanganan Bullying, Tragedi SMAN 72 Cermin Buram
Pakar Psikologi Forensik menyoroti insiden ledakan terjadi di Masjid SMAN 72 Jakarta, ia menyinggung lemahnya penanganan bullying.
TRIBUNJAKARTA.COM - Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel menyoroti insiden ledakan terjadi di Masjid SMAN 72 Jakarta, ia menyinggung lemahnya penanganan bullying.
Terduga pelaku ledakan sudah diketahui yakni seorang pelajar kelas XII SMAN 72 Jakarta yang berinisial FN.
Berdasarkan keterangan saksi yang mengetahui keseharian FN, dia adalah korban bullying.
Di balik adanya tragedi ledakan di SMAN 72 Jakarta, ada fakta menyeruak yakni bullying masih menjadi momok yang diabaikan.
Menurut Reza, setiap tragedi seperti ini selalu berawal dari pola yang sama yakni anak yang merasa terpinggirkan, suara yang tak didengar, dan lingkungan yang memilih diam.
Ia menyebut, lemahnya sistem deteksi dini di sekolah serta minimnya empati sosial membuat kasus perundungan terus berulang hingga berujung pada tindakan ekstrem.
"Korban bullying adalah individu yang mengalami tindakan agresif, menyakitkan, atau merendahkan secara berulang dari orang lain, baik secara fisik, verbal, sosial, maupun melalui media digital (cyberbullying)," katanya, dikutip dari Tribunnews, Sabtu (8/11/2025).
Adanya tragedi ini, kata Reza, menjadi bukti keterlambatan dalam menangani permasalahan bullying di sekolah.
"Saya harus katakan bahwa peristiwa di SMAN 72 adalah satu bukti tambahan tentang bagaimana kita lagi-lagi terlambat menangani perundungan," ujar dia.
Menurutnya, keterlambatan itu membuat korban, setelah menderita sekian lama, akhirnya bertarung sendirian dan dalan waktu sekejap bergeser statusnya menjadi pelaku kekerasan, pelaku brutalitas, dan julukan-julukan berat sejenis lainnya.
Korban bullying mengalami viktimisasi
Reza Indragiri menyoroti korban bullying mengalami viktimisasi berulang.
Viktimisasi adalah proses di mana seseorang menjadi korban akibat tindakan orang lain, baik secara fisik, psikis, sosial, maupun hukum.
Viktimisasi pertama saat dia dirundung teman-temannya, kemudian kedua terjadi saat korban mencari pertolongan.
"Oleh pihak-pihak yang semestinya memberikan bantuan, korban justru diabaikan, masalahnya dianggap sepele dan biasa, dipaksa bertahan dan cukup berdoa, dst," kata Reza Indragiri.
"Andai mereka melapor ke polisi, misalnya, polisi pun boleh jadi memaksa korban untuk memaafkan pelaku dan secara simplistis menyebutnya sebagai restorative justice," tambahnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.