PGI dan Aktivis se-Asia Menggumuli Isu Pekerja Migran, Pengungsi dan Orang-orang Terusir

“PGI sendiri ikut terlibat dalam persoalan ini, seperti kasus Mary Jane Veloso, pekerja migran yang kami yakini ditipu oleh pelaku perdagangan orang,"

Editor: Erik Sinaga
Humas PGI Irma Riana Simanjuntak
Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pdt. Dr. Albertus Patty, saat membuka kegiatan Interfaith Mission for Solidarity and Service with Migrants, Refugees and Uprooted People di Lt. 3 Grha Oikoumene, Jakarta, (12/9/2018) 

TRIBUNJAKARTA.COM, SENEN- Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pdt. Dr. Albertus Patty mengatakan kasus pekerja migran, pengungsi, dan orang-orang yang terusir merupakan persoalan kemanusiaan dan ketidakadilan yang terjadi. Tercatat 260 juta orang mengalami persoalan tersebut, termasuk di Indonesia.

Kata Patty, persoalan tersebut harus menjadi perhatian gereja-gereja bahkan semua orang apa pun agama dan keyakinannya.

“PGI sendiri ikut terlibat dalam persoalan ini, seperti kasus Mary Jane Veloso, pekerja migran yang kami yakini ditipu oleh pelaku perdagangan orang sehingga dia terancam hukuman mati. Kami berusaha membebaskannya dari hukuman tersebut, bahkan jika bisa membebaskannya dari penjara," papar Patty saat membuka kegiatan Interfaith Mission for Solidarity and Service with Migrants, Refugees and Uprooted People di Grha Oikoumene, Jakarta, (12/9/2018).

PGI, lanjut dia, juga menggumuli korban-korban perdagangan orang dan pekerja migran yang dieksploitasi majikannya hingga cacat bahkan meninggal, terutama di Nusa Tenggara Timur.

"Sayangnya juga, di negara tempat mereka bekerja, mereka juga sering dikriminalkan,” beber dia.

Sebanyak 50 peserta yang merupakan perwakilan gereja dan LSM pekerja migran dari berbagai negara seperti Indonesia, Pilipina, Banglades, Thailand, Sri lanka, Singapura, dan Hongkong mengikuti kegiatan yang akan berlangsung pada 12-14 September 2018 ini.

Selain itu, lanjut Pdt. Albertus, juga kasus jemaat Ahmadiyah di Lombok dan komunitas Syiah di Sampang, Madura, yang diusir dari tanah kelahirannya karena keyakinan imannya .

“Ironis, karena mereka harus mengungsi di tanah airnya sendiri oleh kelompok-kelompok tertentu yangintoleran terhadap perbedaan, dan lebih ironis lagi pemerintah lokal justru mendukung tindakan diskriminasi tersebut,” kata dia.

Ketua PGI berharap, konsultasi ini akan melahirkan kesepakatan-kesepakatan terutama untuk memperkuat komitmen, kerjasama, jejaring dan upaya-upaya kemanusiaan lainnya serta mencari solusi-solusi strategis dan berkelanjutan untuk dunia yang lebih baik terutama bagi pekerja migran, pengungsi maupun orang-orang yang terpinggirkan.

Sementara itu, mewakili peserta, Pdt. Mariesol Villalon dari Asia Pasific Mission for Migrants (APMM) dalam sambutannya menegaskan, kasus pekerja migran, perdagangan manusia dan penyelundupan orang, dibantu dan didukung oleh pemerintah pengirim migran, yang menganggap hal itu sebagai program ekspor ketenagakerjaan, dan dianggap sebagai solusi untuk mengatasi kemiskinan. Akibatnya, rakyat miskin rentan terhadap eksploitasi dan pelecehan.

Menurut Mariesol, migrasi saat ini terglobalisasi dan bersifat nasionalistis, rasialis dan etnis, meningkatkan diskriminasi rasial dan kebencian di antara orang-orang. Para migran dikriminalisasi, direduksi sekadar pekerja migran berdokumen dan tidak berdokumen.

Cerita Sopir Ojek Online yang Dapat Penumpang Manohara Odelia Pinot

Rumah Terkepung Bangunan: Syarat Bangunan Dirobohkan Pemerintah hingga Ridwan Kamil Beri Perintah

Mantan Panglima, Ini Jabatan yang Akan Diberikan kepada Gatot Nurmantyo Jika Dukung Prabowo-Sandiaga

Migrasi saat ini tidak dapat dipisahkan dari kekhawatiran akan pekerjaan yang layak dan perjuangan untuk mendapatkan upah layak. Pekerjaan yang layak membutuhkan upah layak, sebagai kebutuhan publik global, dengan lingkungan kerja yang aman dan aman.

“Pekerja migran adalah manusia. Mereka bukan dokumen atau pemasok devisa dari gaji mereka. Seorang buruh migran, Leni Lestari dari Aliansi Migran Internasional IMS, mengatakan, “Jangan bicarakan kami tanpa kami. Kami punya jawaban dan kami telah menyuarakannya. Para pekerja migran di seluruh dunia secara kolektif berjuang dan berorganisasi untuk mewujudkan impian kami,” jelasnya.

Lanjut Mariesol, untuk merespon migrasi paksa dewasa, perlu mendefinisikan kembali misi Kristen dan oikoumenis kita. Dalam terang Injil, karakteristik dan tantangan untuk migrasi saat ini menuntut agar komunitas iman kita dan badan-badan oikoumenis meninjau kembali, bahkan perlu memeriksa ulang misi gereja dan cara kita mengelola gereja untuk menggerakkan pelayanannya agar misi terlihat.

“Ini membutuhkan eklesiologi yang mengakui kenekatan umat Allah, baik dalam lingkungan orang-orang yang berkumpul maupun yang tersebar, yang membawa misi gereja, setidaknya melalui migrasi. Ini juga membutuhkan Kristologi yang tidak hanya mengakui karakter multi-agama dari populasi Asia dan diasporanya tetapi juga apa yang membuat tugas penginjilan bermartabat dan berintegritas dalam situasi seperti itu. Missiologi saat ini juga harus memahami bagaimana melakukan misi dalam diaspora majemuk dan beragam, dan dengan cara yang seturut kehendak Tuhan untuk seluruh oikoumene,” katanya.

Sumber: Tribun Jakarta
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved