Gubernur Anies Baswedan Umumkan Pemprov DKI Jakarta Ambil Alih Pengelolaan PT Aetra dan Palyja
Keputusan ini, berdasarkan hasil rekomendasi terkait dengan polemik pengelolaan air yang diberikan oleh Tim Evaluasi Tata Kelola Air kepada Pemprov.
Penulis: Pebby Ade Liana | Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Pebby Adhe Liana
TRIBUNJAKARTA.COM, GAMBIR - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengumumkan bahwa Pemprov DKI Jakarta telah mengambil alih pengelolaan air bersih di Jakarta dari PT Aetra dan Palyja.
Keputusan ini, berdasarkan hasil rekomendasi terkait dengan polemik pengelolaan air bersih yang diberikan oleh Tim Evaluasi Tata Kelola Air kepada Pemprov DKI Jakarta.
Menurut Anies, langkah pengambil alihan ini sekaligus mengoreksi perjanjian yang dibuat pada tahun 1997 lalu. Dimana, pada tahun 1998 silam kewenangan pengelolaan itu diberikan kepada pihak swasta.
Namun kerjasama tersebut tak sesuai harapan.
"Pada tahun 1998, saat swastanisasi dimulai, cakupan awal tahun 1998 adalah 44,5 persen. Itu tahun 1998. Sudah berjalan 20 tahun (2018) dari 25 tahun yang ditargetkan. Dan di dalam 20 tahun, hanya meningkat sampai 59,4 persen. Artinya, waktu 20 tahun hanya meningkat 14,9 persen," kata Anies, di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (11/2/2019).
Anies, menjabarkan sejumlah alasan mengapa dirinya harus mengambil alih pengelolaan air bersih tersebut. Menurut Anies, ada tiga hal yang paling utama, salah satunya mengenai masalah eksklusivitas.
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu, mengaku selalu bermasalah dengan perjanjian kerjasama yang mengatakan bahwa pengelolaan tersebut berada di tangan swasta. Apalagi, pemerintah kesulitan apabila ingin menambah jaringan tertentu mengenai air bersih di Jakarta.
• Aksi Sejumlah Wanita Petugas UPK Badan Air Berjibaku Bersihkan Sampah dari Kali
"Tahun lalu ini, berkeinginan menambah jaringan, dan (itu) tidak dimungkinkan oleh peraturan karena hak itu ada pada pihak swasta. Negara mau nambah saja harus minta izin kepada swasta. Ini nambah untuk apa? Air untuk rakyat! Itu poin pertama," tegas Anies.
Selain itu, pemerintah juga tidak memiliki kontrol terkait dengan segala aspek pengelolaan air bersih di Jakarta. Mulai dari pengelolaan air baku, pengolahan, proses distribusi, maupun pelayanannya.
"Empat-empatnya ada di sana (swasta). Kita sama sekali tidak punya kontrol di sana," katanya.
Berdasarkan kajian komprehensif yang meliputi aspek hukum, aspek ekonomi, serta optimalisasi dan keberlanjutan air bersih, Tim Tata Kelola Air sebelumnya telah menggambarkan tiga pilihan kebijakan dan konsekuensinya.
Mulai dari status quo atau membiarkan kontrak selesai sampai dengan waktu berakhirnya pemutusan kontrak kerjasama saat ini, pemutusan kontrak sepihak, serta pengambilalihan pengelolaan melalui tindakan perdata.
Namun menurut Anggota Tim Evaluasi Tata Kelola Air Nila Ardhianie, status quo maupun pemutusan kontrak sepihak tak dianjurkan untuk mengelola air bersih di Ibu kota.
• Tingkatkan Pelayanan, Aetra Kembangkan Smart Control Room
Ia menyebut, bahwa terdapat sejumlah kelemahan dalam dua kebijakan tersebut. Khususnya terkait dengan adanya biaya terminasi yang besar sebagaimana yang tercantum dalam Perjanjian Kerja Sama (PKS), yang mencapai Rp 1 Triliun lebih jika memutuskan kontrak secara sepihak.
"Maka opsi yang akan kami sarankan adalah pengambilalihan pengelolaan melalui tindakan perdata,” ujar Nila.