KH Muhammad Mansur, Pejuang Kampung Sawah yang Namanya Dijadikan Nama Masjid dan Jalan di Tambora

"Rempug! Kalau jahil belajar. Kalau alim mengajar. Kalau sakit berobat. Kalau jahat lekas tobat,"

Penulis: Elga Hikari Putra | Editor: Ilusi Insiroh
TribunJakarta.com/Elga Hikari Putra
Biografi hidup KH Muhammad Mansur. 

Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Elga Hikari Putra

TRIBUNJAKARTA.COM, TAMBORA - "Rempug! Kalau jahil belajar. Kalau alim mengajar. Kalau sakit berobat. Kalau jahat lekas tobat," itulah pesan khas yang kerap disampaikan KH Muhammad Mansur alias Guru Mansur.

Ia adalah seorang ulama besar yang namanya diabadikan menjadi nama masjid di wilayah Tambora, Jakarta Barat.

Masjid Jami Al Mansur ialah masjid yang terletak di Jalan Sawah Lio, Jembatan Lima, Tambora, Jakarta Barat.

Baca: ASN di Bekasi Diimbau Tak Gunakan Mobil Dinas untuk Mudik

Meski bukan Guru Mansur yang mendirikan masjid yang awalnya bernama Masjid Kampung Sawah ini, namun dedikasi dan perjuangan Guru Mansur yang begitu besar ketika memimpin masjid ini membuatnya mendapatkan penghormatan itu.

Bagi masyarakat Betawi, nama Guru Mansur merupakan tokoh yang begitu disegani. 

Tak hanya sebagai ulama kondang, namun juga sebagai pejuang yang ikut berjibaku melawan penjajah.

Berdasarkan informasi ‎mengenai sejarah hidup Guru Mansur yang diterima TribunJakarta.com, Guru Mansur lahir pada 31 Desember 1878 yang merupakan warga asli Kampung Sawah, Jembatan Lima,  Tambora, Jakarta Barat.

Sebagai keturunan ulama maka sejak kecil Guru Mansur memang sudah mendalami ilmu agama.

Bahkan, saat berusia 16 tahun, ia telah bergi ke Mekkah bersama ibunya untuk melaksanakan Haji dan belajar agama disana selama empat tahun.

Baca: Dukungan Sejumlah Artis, Memberi Semangat Tio Pakusadewo di Persidangan Kasus Narkoba

Empat tahun memperdalam ilmu agama seperti ilmu fiqih, ilmu usul fiqh hingga bahasa Arab dan tafsir, Guru Mansur kembali ke tanah air untuk mengamalkan ilmunya.

Selain mengajar, Guru Mansur mendirikan pesantren untuk mendidik generasi muda dan menyebarkan ilmu Falaq. 

Pada 1915, saat menjadi pengulu daerah Penjaringan, Guru Mansur ‎menjadikan Falaq sebagai patokan penetapan awal Ramadan dan Idul Fitri.

Sekretaris Dewan Kemakmuran Masjid Al Mansur, Solihin mengatakan semasa hidupnya Guru Mansur berhubungan sangat baik dengan tokoh-tokoh Islam.

Dikatakan Solihin, dengan kalangan Nahdlatul Ulama (NU), Guru Mansur dekat dengan KH Hasyim Asyari.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jakarta
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved