Jejak Digital Ungkap Kebohongan Ratna Sarumpaet, Begini Penuturan Komjen Pol Arief Sulistyanto

Komisaris Jenderal Pol Arief Sulistyanto (54), hanya menjabat 5 bulan sebagai Kabareskrim Polri.

Editor: Mohamad Afkar Sarvika
Kompas.com/Sherly Puspita
Tersangka kasus penyebaran berita bohong atau hoaks Ratna Sarumpaet berjalan meninggalkan Direktorat Tahanan dan Barang Bukti Polda Metro Jaya, Jumat (26/10/2018). 

TRIBUNJAKARTA.COM - Komisaris Jenderal Pol Arief Sulistyanto (54), hanya menjabat 5 bulan sebagai Kabareskrim Polri. Sejak 22 Januari mutasi menjadi Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Kalemdiklat) Polri, mengurusi kaderisasi polisi.

Inilah penuturan anak nomor dua dari lima bersaudara putra seorang guru di Nganjuk, Jawa Timur, Mardjono (almarhum) dan ibu Halimah Sa'adijah menangani kasus heboh seperti hoaks Ratna Sarumpaet, hoaks surat suara dicoblos sebanyak 7 kontainer, hingga misteri terror terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan.

Tanya: Selama lima bulan menjabat komandan penyidik, Kabareskrim apa saja yang paling berkesan menurut anda?

Saat awal menjabat Kabareskrim, komplain cukup tinggi, karena tidak dibuka saluran. Ada banyak kasus yang sudah empat tahun belum selesai, misalnya. Kemudian saya bukan 4 saluran media social seperti facebook, instagram, email, twitter. Perkara yang sudah tiga tahun kahirnya selesai. Menggunakan medsos, saya membangun sistem.

Kemudian pemanfaatan sumber daya manusia. Ada 32 analis kebijakan lulusan Sespimti dan Lemhanas di Bareskrim. Ini kalau tidak dipetakan sangat sayang. Saya bentuk tim-tim penyidikan. Ada bentuk subdit-subdit, sehingga saya buatlah tim penyidikan perkara yang baru ditangani. Kita harus memberikan reserse yang menangani. Itu rasa lama, kita harus membuat reserse rasa baru. Temanya adalah mari benahi reserse, rakyat menunggu. 

Hasil Liga Eropa Malmo FF vs Chelsea, The Blues unggul 1-2

Ikut Merayakan Valentine, Penumpang di Bandara Soekarno-Hatta Dibagikan Cokelat dan Bunga

Apakah susah mengubah sistem dan karakter penyidik?

Menghadapi resistensi itu, tapi kita bisa lalui, kalau kita sebagai pemimpin konsisten. Dan itu sudah dirasakan. Saya sudah berkali-kali mengganti, kesimpulan saya satu untuk mengubah sebuah organisasi. Organisasi yang buruk datang pemimpin baik, dia akan baik. Organisasi yang baik datang pemimpin yang baik, dia akan luar biasa. 

Semasa Anda Bareskrim, banyak kasus hoaks heboh yang ditangani. Apakah penanganan kasus hoaks sama dengan kasus pidana lainnya?

Semua perkara itu memiliki karakter masing-masing. Walaupun sama-sama hoaks, misalnya, tapi hoaks Ratna Sarumpaet dan 7 kontainer surat suara, beda. Setiap perkara baru akan memberikan ilmu yang berbeda. Jangan mengambil masalah itu menjadi masalah pribadi kita. Kita berdiri di tengah. 

Ada kritik terhadap Polri, terkait penanganan kasus hoaks. Konon, jika hoaks kepada pemerintah cepat diusut dan ditangkap, tetapi jika hoaks kepada pihak lain, lambat penanganannya. Apakah Polri berpihak?

Jangan tanya ke saya, saya bukan Kabareskrim lagi.

Bekraf dan Pemkot Tangsel Dorong Bambu Mendunia dari Tangsel

Kedai Mamak di Tebet: Konsep Makan Suka-suka Bayar Seikhlasnya dan Porsi Paket Anak Yatim

Kita bicara kasus lama, ketika anda jadi Kabareskrim.

Kami bekerja berdasarkan fakta. Bukan siapa didulukan, siapa ditangani. Hoaks yg mana yang tidak ditangani. Orang bisa berpendapat seperti itu. Setiap perkara ada tingkat kesulitannya masing2. Sehingga ada suatu perkara itu blessing juga, 7 kontainer itu blessing juga. Itu dari Tuhan. Kalau tuhan tidak meridhoi mungkin tidak akan terungkap. 

Boleh cerita pengungkapan kasus Ratna Sarumpaet?

Kasus Bu Ratna, saya perintahkan Dirkrimum untuk mengecek RS di Bandung. Katanya kejadian penganiayaan tanggal 21 September dan baru dilaporkan tanggal 3 Oktober 2018. Tapi saat dicek, nggak ada di Bandara Husein Bandung. Nggak ada sopir taksi yang mengaku menolong. Manifes di pesawat juga nggak ada. 

Lalu bagaimana caranya mengungkap kebohongan itu?

Kami gunakan jejak digital. Jejak digital yang kami gunakan untuk kasus Ratna ini macam-macam. Saya bilang di era sekarang ini tidak ada tempat sembunyi lagi, no place to hide. 

Kemudian kami cek, ternyata mengarahkan pada satu tempat di Jakarta. Saya sendiri datang ke lokasi itu pukul 11 malam, dan ternyata rumah sakit.

Kemudian ada foto yang disebut penganiayaan itu. Saat dapat foto, saya curiga, dan diskusi dengan istri. Istri saya kan dokter. Saya bilang, kok aneh ya ma, penganiayaan tapi kok simetris wajahnya bu Ratna. Lalu sitri membenarkan, ini ada sesuatu. Kemudian, foto yang terlihat Bu Ratna di kamar perawatan, kami cek, ternyata benar kamarnya itu  Rumah Sakit Khusus Bina Estetika.

Terkait kasus penyidik KPK Novel Baswedan kok tampaknya sulit sekali mengungkap, kenapa?

Kasus hit and run itu sulit sekali. Jangankan polisi, korban yang mengalami itu sendiri pun tidak tahu juga pelakunya. Ini sama seperti kasus pembunuhan Munir. Saya ikut penyidiknya dulu. Kalau ditanya siapa yang meracun Munir, ya Munir (andai tidak meninggal) sendiri barangkali juga enggak tahu. 

Terkait penggeseran anda dari Kabareskrim ke Lemdikpol, konon ada friksi dan faksi dengan Kapolri Jenderak Tito Karnavian. Bagaimana komentar anda?  

Tanya sama yang buat isu. Saya enggak ngerti. Saya ke mana-mana ada Pak Benny (Brigjen Benny Setaiwan, Analisis Kebijakan Lemdikpol, Red), sekarang ada lagi yang jagain dua orang, bersama pak Paulus (Irjen Pol Paulus Waterpauw, mantan Kapolda Papua/mantan Kapolda Sumut). Saya ke mana-mana sama Pak Benny, enggak pernah ada apa-apa. Tanya sama yang buat isu, saya enggak ada apa-apa. Saya enggak ngerti, tanya sama yang buat isu itu haha…

Selama tugas, bidang apakah yang anda paling gemari. Kabareskrim kah atau Kalemdiklat Polri?

Jadi gini di kepolisian itu, tugas apa pun, sebetulnya mempunyai muatan yang sama, hanya ketika kita duduk di satu tempat, ada fokusnya domainnya ke mana. Saya dengan pak Paulus (Paulus Waterpauw, sama-sama Akpol 1987) ini dibesarkan di reserse. Saya lulus di Akpol, sampai saya bintang 1 itu saya di reserse, terus jadi kapolda Kalbar.

Saya kaget waktu Pak Tito jadi kapolri, saya diminta untuk jadi asisten SDM Polri. Saya kaget. Saya takut tidak bisa. Kapolri bilang SDM ini harus dikelola orang dari luar, dan saya lihat itu di sampeyan.

Ketika saya jadi Kapolda Kalbar, saya pernah paparan di depan Kapolri, saya harus mulai dari pembenaham sumber daya manusia, penciptaan program. Di situ rupanya beliau melihat ada potensi. Terus beliau tanya sampean belajar dari mana? Saya ngarang-ngarang aja.

Kita ini kan belajar manajemen. Ketika jadi kapolsek kan pasti mengelola sumber daya manusia, uang dan lain-lain. Ketika menjabat kapolres, fokus kepada bagaimana menciptakan itu. Ketika jadi direktur, bagaiamana mengelola SDM jadi profesional mauoun menyelsaikan masalah.

Ketika jadi kabareskrim, bagaiamana SDM yang ada dimanfaatkan semaksumal mungkin, dibangun sistem kontrol hingga bisa melakukan tugas dgn baik. Di sini ada aspek pendidikan, aspek pelatihan sehingga ketika ditunjuk kalemdiklat, semua itu berproses dengan benar, saya sudah running itu.

Apakah ini ada kaitannya dengan profesi ayah yang seorang guru, sehingga ada aktualisasi dari anda?

Saya cerita kepada temen-teman SPN di Mojokerto, Bangsal. Tempatnya luas. Saya ingin jadi KSPM Bangsal, enggak keturutan. Waktu jadi Kapolda Kalbar, saya juga ingin menjadi Gubernur Akpol, saya ingin mendidik taruna2 itu menjadi taruna berintegritas. Lewat juga, jadi asisten SDM Polri, enggak taunya sekarang jadi komandan gubernur dan SPM hahaha. Artinya Tuhan memberikan memenuhi sesuatu yang melebihi ekspektasi saya.

Berarti jenderal sangat enjoy, sebagai Kalemdikpol?

Saya di mana saja sangat enjoy, saya tidak pernah merasa tertekan. (tribunnews.com/Reza Deni/Domu D Ambarita)

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved