Aksi 22 Mei

Sebut 70 Orang Hilang Pasca Kerusuhan, Pengacara Korban 22 Mei: Yang di Kantor Polisi Kami Sayangkan

Pengacara Korban aksi 21-22 Mei, Kamil Pasha, menyebut ada 70 orang yang dilaporkan hilang setelah kerusuhan terjadi.

Penulis: Rr Dewi Kartika H | Editor: Mohamad Afkar Sarvika
TRIBUNNEWS/HERUDIN
Massa perusuh melakukan pembakaran saat bentrokan dengan polisi di sekitar Jalan MH Thamrin Jakarta, Rabu (22/5/2019). Aksi massa yang menuntut pengungkapan dugaan kecurangan Pilpres 2019 berujung bentrok saat massa mulai menyerang polisi. 

Sebabnya, kata Aang, khawatir ada pihak-pihak tertentu yang tidak berkenan dengan kata tersebut.

"Kami ini menyikapi terkait peristiwa 21 -22 Mei 2019. Saya tidak mengatakan kerusuhan, karena dikhawatirkan ada pihak-pihak tertentu yang tidak berkenan dengan kata-kata kerusuhan. Sehingga saya ambil kata peristiwa," jelas Aang.

Namun, saat ditanya ihwal alasannya, Aang enggan menjawab.

"Ya tidak tahu. Kan mungkin saja ada pihak yang tak suka," ucapnya.

Dia menjabarkan, peristiwa pada 21 Mei 2019 lalu ada dua fokus tempat yang menjadi ruang massa aksi.

"Peristiwa 21 itu ada dua setahu saya, pertama di Bawaslu dengan massa tertentu, kalau yang di Bawaslu jelas objeknya Bawaslu kan begitu. Nah, jadi massanya itu jelas massa pengunjuk rasa atau massa demo yang akan mengeluarkan unek-uneknya diakomodir oleh undang-undang," jelasnya.

"Tapi, kami yang di Petamburan, itu ada juga massa. Kami yang jadi objeknya, tapi yang di Petamburan massanya massa apa, apakah massa penggemar kami, apakah massa pecinta kami, apakah massa penggemar dan pecinta kami itu berlaku seperti itu kepada kami?" tanya Aang.

Aang pun menegaskan bahwa massa aksi di Petamburan tersebut bukanlah yang dikatakan olehnya.

"Kami malam itu, ketika sunyi, senyap, dan menjelang makan sahur, kami ini entah apakah diserang atau diserbu oleh massa itu. Tapi saya yakin massa itu massa Allah. Kenapa saya katakan massa Allah? Takbirnya lantang, sambil melempar, apakah itu yang diajarkan Rasullullah?" Aang bertanya.

"Coba bayangkan kami sedang sunyi, senyap, yang ada cuma ibu-ibu dan anak-anak saja yang mendengar peristiwa seperti itu. Kami penghuni asrama Petamburan, namanya asrama Polri. Malam-malam, bapak-bapak Polisi itu tidak ada di rumah, ada yang di Bawaslu, ada yang di KPU, ada yang di MK, bahkan ada penugasan ke luar Jawa," sambungnya.

Usia 22 Tahun Terpilih Jadi Anggota DPRD Tangsel, Ini yang Bakal Syauqi Mawali Perjuangkan

Hampir Kehilangan Istri & Anak, Mantan Napi Kasus Pembunuhan Belajar Agama Hingga Akhirnya Tobat

H-5 Lebaran, 141.064 Pemudik Tinggalkan Jakarta dari Stasiun Pasar Senen

ITC Fatmawati Jadi Tempat Langganan Anies Belanja Keperluan Lebaran

Dia pun meminta kepada Komnas HAM agar tak membedakan Polisi seolah petugas negara yang kuat.

"Jangan berpikir, oh ini asrama Polisi, pasti kuat, karena banyak Polisinya. Betul banyak, tapi saat itu ibu-ibu isinya. Nah efek dari peristiwa itu, ada yang berbentuk materil dan efek lainnya," ujar Aang.

Materil, kata Aang, 16 mobil warga Petamburan hangus dibakar massa aksi.

"Dan puluhan mobil rusak berat. Kami beli mobil itu hasil dari sisa lapar, bukan hasil kenyang," tegasnya.

Tanggapan Komisioner Komnas HAM dari Bidang Penelitian dan Pengkajian

Halaman
1234
Sumber: Tribun Jakarta
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved