Perjuangan Abdul Djaya Melawan Kanker Kulit, Kebal dengan Cibiran dan Pantang Putus Asa
Usia yang masih terbilang muda dan sudah divonis menderita kanker kulit, membuat dirinya merasa putus asa.
Penulis: Nur Indah Farrah Audina | Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Nur Indah Farrah Audina
TRIBUNJAKARTA.COM, TAMBORA - Abdul Djaya (55) sering dijuluki 'manusia kutil' dari Jakarta Barat.
Sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), lelaki yang biasa disapa Djaya ini divonis menderita kanker kulit.
Awal mulanya ia mengatakan ada benjolan besar yang terletak pada lutut bagian kanannya. Kemudian setelah dilakukan operasi sebanyak 3 kali, dokter memastikan ia mengidap kanker kulit.
"Pas tahun 1984 dokter bilang saya kena kanker kulit. Kalau bahasa ilmiahnya ribet, jadi gampangnya dikenal dengan kanker kulit. Kemudian timbul kutil seperti ini," ucapnya di Jalan Duri Utara 1, Tambora, Jakarta Barat, Kamis (31/10/2019).
Sejak divonis seperti itu, ia memutuskan untuk tak melanjutkan sekolahnya dan terhenti di bangku kelas X SMA.
Selain itu, ia juga mengatakan orang tuanya terkendala biaya. Sehingga semakin memantapkan niatnya untuk berhenti sekolah.
"Ibu saya meninggal dari saya umur 10 tahun, jadi Bapak kerja serabutan sendiri. Saya mikir dari pada lanjut sekolah mending berenti biar biayanya buat ke-2 adik saya aja. Jadi berhenti sekolah karena dua faktor, yakni penyakit dan ekonomi," sambungnya.
Selama tak memiliki aktivitas, waktunya ia habiskan dengan mencari udara segar sembari mencari pekerjaan serabutan.
Akhirnya, ia memutuskan untuk menjadi pengumpul botol bekas dan kardus atau biasa disebut pemulung.
Setiap hari ia berkeliling kawasan Jakarta Barat dengan mengenakan baju dan celana panjang karena kutilnya mulai menyebar dan memenuhi tubuhnya.
"Buat tambahan makan ya lumayan. Minimal Rp 30 ribu pasti saya kantongi karena keliling dari pagi sampai malam," jelasnya.
Sempat Putus Asa
Usia yang masih terbilang muda dan sudah divonis menderita kanker kulit, membuat dirinya merasa putus asa.
Hatinya hancur bahkan hal itu ia luapkan kepada sang pencipta.
Saat melihat kondisi kulitnya, Djaya mengatakan selalu berteriak dan protes kepada sang pencipta.
"Tuhan kenapa Engkau masih biarkan saya hidup sementara kondisi kulit saya seperti ini. Adik-adik saya normal kenapa saya seperti ini," rajuknya selama putus asa.
Selama berbulan-bulan protesnya ini selalu terlontar dari mulutnya dan air matanya terus menetes setiap hari ketika meratapi kondisi kulitnya.
Siapapun yang menyemangati seolah tak pernah ia hiraukan akibat rasa putus asa yang lebih besar menyelimuti dirinya.
"Saat itu kacau ya. Tapi saya enggak kepikiran buat bunuh diri. Yang saya lakuin cuma protes aja sama Tuhan," ungkapnya.
Hingga pada suatu hari dirinya mulai diberikan pencerahan ketika sedang berjalan di kawasan Sawah Besar.
Dijelaskan Djaya, saat melintas dikawasan tersebut, ia melihat orang yang tak memiliki kaki dan kesulitan untuk berjalan.
"Hati saya langsung tersentuh. Ibaratnya mata hati saya langsung sadar harusnya saya bersyukur. Saya langsung malu, saya mikir saat itu saya nih yang masih bisa jalan malah protes sama Tuhan sedangkan dia yang begitu aja tetap kuat jalani hidup. Dari situ saya mulai menerima takdir," ungkapnya.
Sejak saat itu, ia memutuskan bangkit dan semangat bekerja. Apapun yang ia bisa selalu ia lakukan, hingga akhirnya pada 1,5 tahun belakangan Djaya memutuskan untuk jualan tisu yang dimodali oleh temannya.
Setiap hari, temannya selalu menyetok puluhan tisu untuk dijualnya di Jalan Duri Utara 1.
"Saya cuma jualin aja. Tapi untungnya buat saya. Jadi setelah memutuskan bangkit justru saya banyak dipertemukan dengan orang baik. Jadi sekarang Rp 30-40 ribu dapat bersih dari jualan ini (tisu)," katanya.
Setiap harinya, ia akan berjualan mulai pukul 07.00-12.00 WIB dan memulai berjualan kembali pada pukul 15.00-20.00 WIB di kawasan tersebut.
Rendah Diri
Saat ini Djaya usia Djaya sudah mencapai kepala 5. Namun di usianya yang ke-55 tahun, Djaya tidak memiliki istri dan anak.
Jangankan anak, ia mengaku tak pernah berpikir untuk menikahi seseorang dan tak pernah lagi merasakan jatuh cinta usai divonis menderita kanker kulit puluhan tahun silam.
"Saya rendah diri, saya minder," kata itu selalu diucapkannya berulang pada TribunJakarta.com.
Ya, kondisi kulit yang banyak ditumbuhi kutil membuatnya sering malu jika bertemu dengan lawan jenis.
Ia yang tak bisa bertele-tele dalam urusan cinta dan langsung menyatakan perasaannya kepada wanita, justru diakui sebagai kelemahannya.
"Kalau saya suka, saya bilang. Kalau tiba-tiba saya bilang, saya cuma takut dia berucap 'hey sadar diri kamu, kondisi kamu seperti apa'. Hal itu yang saya takutin makanya saya menghindari untuk jatuh cinta," lanjutnya.
Selain itu, Djaya juga mengatakan tinggal seorang diri di Ibu Kota. Kedua adiknya kini sudah memiliki kehidupannya sendiri dan tinggal di kota yang berbeda dengan dirinya.
Sehingga ketika kesepian menghantuinya, ia memilih untuk bermain gadget dan menghabiskan waktu untuk menjual tisu.
"Saya di sini ngekos. Yang lain pada jauh. Makanya seharian dagang tisu aja buat isi waktu. Mau mikirin kondisi aja kan enggak mungkin. Sekarang nikmatin hidup aja," katanya.
• Wakil Ketua DPRD DKI Optimistis Pembahasan APBD 2020 Rampung Tepat Waktu
• Pengertian E-budgeting APBD DKI Jakarta, Tak Boleh Asal Masukan Anggaran, Harus Sesuai Kebutuhan
• Satu Jam Operasi Zebra, Samsat Jakarta Barat Dapat Pemasukan Rp 30 Juta
Cibiran
Sudah 35 tahun menderita kanker kulit, Djaya mengaku sering dicibir orang lain.
Kutil yang memenuhi sekujur tubuhnya mengundang gunjingan dari orang lain, apalagi orang yang baru melihatnya.
Tak jarang mereka merasa takut ketika melihat banyaknya kutil yang ada ditubuhnya hingga memenuhi bagian wajahnya.
"Saya sebenarnya sudah enggak perduli orang mau bilang apa. Karena beberapa orang merasa jijik sama kondisi saya. Bahkan ada juga yang enggak mau duduk di kursi bekas saya duduk," ungkapnya.
Bahkan beberapa diantaranya menjuluki ia sebagai 'manusia kutil'.
"Ada yang bilang manusia kutil. Cuma kan saya bilang kalau ini sakit kanker kulit. Tapi enggak menular ke orang lain. Ya tapi mereka tetap bilang manusia kutil," katanya.
Apapun bentuk cibiran dari orang lain, saat ini menjadikan dirinya untuk maju. Semakin orang lain mencibir, semakin besar juga semangatnya untuk bekerja.
"Saya cuma pengin orang lain lihat ini loh saya. Saya kuat jalanin semuanya, saya bisa bangkit dan enggak bunuh diri. Bahkan saya masih mampu buat bekerja tanpa mengemis. Saya cuma pengin jadi contoh buat orang lain khususnya yang memiliki keterbatasan fisik supaya mereka enggak putus asa dan bisa bangkit," tandasnya.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jakarta/foto/bank/originals/abdul-djaya-penderita-kanker-kulit.jpg)