Duka Badut Pesta di Tengah Pandemi: Tidak Ada Panggilan, Hanya Menghibur Lewat Ponsel
Selama masa pandemi, terhitung sekira tiga bulan, ia baru menerima dua panggilan untuk menghibur di pesta
Penulis: Satrio Sarwo Trengginas | Editor: Muhammad Zulfikar
Keluarga Suharno berasal dari angkatan bersenjata. Mendiang ayahnya seorang kapten tentara.
Namun, ia tidak melanjutkan jejak ayahnya.
Suharno bekerja sebagai seorang petugas keamanan mal di kawasan Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Namun, pekerjaannya sebagai petugas keamanan malah berujung nestapa ketika ia harus pisah dengan sang istri.
Menurutnya, istrinya tidak bisa hidup dengannya sebagai petugas keamanan yang berpenghasilan kecil.
Selain itu nasib malang lainnya kembali datang pada tahun 1991, mal tidak mampu bertahan sehingga mengorbankan mata pencaharian Suharno.
Setelah terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), ia mencari pekerjaan lain.
Namun, cukup sulit bagi Suharno untuk mendapatkan pekerjaan karena terbentur usia yang tidak lagi muda.
Suharno tertarik pekerjaan sebagai badut panggilan ketika melihat orang lain melakukannya.
"Saya awalnya ikut-ikutan orang. Orang bisa begitu kok saya enggak bisa. Dulunya ikut sama teman akhirnya saya sendirian jadi badut," ujar anak pertama dari dua bersaudara itu kepada TribunJakarta.com di kediamannya, di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Menjadi badut bukan pekerjaan yang mudah awalnya. Suharno belajar bagaimana menghibur anak-anak dari rekan-rekannya.
Ia juga sering memperagakan bagaimana cara menghibur secara otodidak.
Suharno berlatih berbicara di depan cermin di rumah seolah sedang menghibur anak-anak.
Ia pernah merasakan canggung ketika pertama kali menjadi badut.
Suharno yang biasanya tampak kaku saat bekerja menjadi petugas keamanan mal harus melunak di hadapan anak-anak.