Sisi Lain Metropolitan
Kerap Tak Dapat Penumpang Ketika Menjadi Supir Angkot, Cerita Bagas Beralih Jadi Manusia Silver
Akhirnya, Bagas mencoba melakoni menjadi manusia silver. Setiap harinya, Bagas mampu mengumpulkan uang minimal Rp 50 ribu
Penulis: Nur Indah Farrah Audina | Editor: Erik Sinaga
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Nur Indah Farrah Audina
TRIBUNJAKARTA.COM, JATINEGARA -
Kerap menombok biaya setoran, Bagas (26) beralih jadi manusia silver.
Selama pandemi Covid-19, berbagai upaya terus dilakukan tiap individu demi keberlangsungan hidup mereka.
Usaha apapun mereka lakukan demi keluarga dan dapur tetap ngebul.
Bagas, satu diantara warga Jatinegara, Jakarta Timur misalnya.
Telah memiliki satu orang anak, membuat tanggung jawabnya bertambah.
Usia anak yang masih belia, tentunya masih membutuhkan banyak biaya.
Susu dan pampers menjadi hal yang wajib ada bagi bayi mungilnya setiap hari.
Mirisnya, selama pandemi ia kerap pontang-panting demi memenuhi kebetuhan tersebut.
"Saya kerja sebagai supir angkutan umum 44 trayek Kampung Melayu-Karet. Tapi tahu sendiri sepinya sewa seperti apa pas pandemi. Benar-benar susah banget cari uang," katanya kepada awak media, Jumat (11/9/2020).
Bagas menjelaskan, selama pandemi ia kesulitan mencari penumpang alias sewa.
Meski trayeknya terbilang bagus, selama pandemi ia sering menombok biaya setoran.
Padahal, ju.lah setoran sudah turun 50 persen dari awalnya berkisar Rp 200 ribu.
"Sehari aja buat dapat penumpang belasan itu sulit. Sebab kan perkantoran juga banyak yang WFH dan nyatanya banyak yang di PHK imbas pandemi," sambungnya.
Selain itu, pengurangan kapasitas penumpang juga menjadi alasan lain setorannya kerap menombok.
Semenjak pandemi, angkutan umum pun harus mengurangi jumlah penumpang guna menekan penyebaran Covid-19.
"Sudah gitu ditambah kita enggak boleh angkut penumpang 6:4 lagi. Jadi kalau masih kayak dulu kena razia. Makin sepi kan. Makanya saya keluar dari kerjaan supir," ungkapnya.
Setelah keluar, Bagas mencari pekerjaan kesana-kemari.
Apapun jenis pekerjaan ia lakukan.
Klimaksnya, tepat empat bulan lalu, keluarga istrinya mengajak menjadi manusia silver.
"Mau enggak jadi manusia silver. Penghasilannya lumayan," kata salah satu anggota keluarganya.
Akhirnya, ia pun mencoba melakoni pekerjaan tersebut.
Setiap harinya, Bagas mampu mengumpulkan uang minimal Rp 50 ribu.
"Jadi memang di keluarga istri pada jadi ginian semua (manusia silver). Pas saya coba ternyat hasilnya lumayan, jadi saya lanjut sampai sekarang," ujarnya.
Kucing-kucingan dengan petugas P3S Sudin Sosial Jakarta Timur
Tiap pekerjaan tentulah memiliki resiko tersendiri.
Hal itu juga berlaku pada Bagas.
Sebagai pekerja di jalanan Ibu Kota, hatinya kerap cemas ketika menjadi manusia silver.
Bukan tanpa alasan, banyaknya satuan petugas Pelayanan, Pengawasan, dan Pengendalian Sosial (P3S) Suku Dinas Sosial Jakarta Timur membuatnya dihantui rasa was-was.
"Kalau kejaring sih alhamdulillah belum pernah. Jadi cuma dari cerita teman dan adik ipar aja. Kan pengurusan pengulangannya itu yang ribet. Makanya kita kayak kucing-kucingan sama petugas, ketimbang ke jaring razia dan di bawa ke panti," jelasnya.
Untuk itu, Bagas harus pintar mengatur waktu.
Ia memilih malam hari sekira pukul 19.00-22.00 WIB untuk menjadi manusia silver.
Sadar bahaya
Selain sadar akan petugas, Bagas juga sadar bahaya mewarnai tubuhnya seperti saat ini.
Terlebih ia mengatakan bahan yang digunakan ia beli dari tukang sablon.
Untuk satu botolnya, bahan baku itu ia beli dengan harga minimal Rp 37 ribu.
"Bahan bakunya beli dari tukang sablon. Di daerah pangkalan jati juga banyak yang jual," ungkapnya.
Untuk tiap botolnya, ia akan mencampur dengan body lotion dan baby oil.
Bagas mengatakan hal ini untuk mengurangi iritasi pada kulitnya.
"Saya tahu bahayanya untuk kulit, seperti kanker kulit. Makanya selain mencampur hand body di bahan bakunya, saya juga rajin pakai hand body pas habis mandi sepulang jadi manusia silver," jelasnya.
• Dipaksa Orang Dewasa, Anak-anak jadi Manusia Silver dan Pengamen Ondel-ondel
• Pria Ini Terpaksa Jadi Manusia Silver Karena Upah Sopir Angkot Merosot Drastis di Tengah Pandemi
• Wagub DKI Jakarta Imbau Pengelola Masjid Perketat Protokol Covid-19
Saat ini, Bagas hanya bisa berdoa supaya pandemi segera berlalu.
Ia pun berencana beralih dan mencari pekerjaan yang lebih baik.
"Makanya saya lagi cari kerjaan lain juga. Saya juga enggak mau merusak jaringan kulit saya," pungkasnya.