Penangkapan Aktivis KAMI
Terungkap Alasan 8 Pentolan KAMI Ditangkap, Isi Percakapan Bisa Menyulut Masyarakat yang Tak Paham
Polisi menyebut, delapan anggota KAMI ditangkap karena diduga menghasut sehingga demo UU Cipta Kerja yang terjadi beberapa waktu lalu berujung rusuh.
TRIBUNJAKARTA.COM, JAKARTA - Pihak kepolisian membeberkan alasan penangkapan delapan anggota Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI).
Kepala Biro penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Awi Setiyono mengatakan, mereka diduga menyebarkan narasi bernada permusuhan dan SARA.
"(Delapan orang yang ditangkap karena) memberikan informasi yang membuat rasa kebencian dan permusuhan terhadap individu atau kelompok berdasarkan SARA dan penghasutan," ujar Awi.
Sebagian dari delapan orang itu diketahui adalah petinggi organisasi KAMI.
Awi tak menjelaskan secara perinci apa narasi kebencian dan permusuhan soal SARA yang dilontarkan delapan orang tersebut.
Baca juga: 5 Anggota KAMI Jadi Tersangka Demo Tolak UU Cipta Kerja, Dijerat Pasal Ujaran Kebencian
Baca juga: Mimpi Kecelakaan Pesawat Menurut Primbon Jawa: Jodoh yang Dinantikan Menjauh dari Kehidupan Anda
Ia hanya menjelaskan bahwa unsur penghasutan terdapat dalam pernyataan keempat orang tersebut berkaitan dengan penolakan UU Cipta Kerja.
"Penghasutan tentang apa? Ya tadi, penghasutan tentang pelaksanaan demo omnibus law yang berakibat anarkis," ujar Awi.
Kini, penyidik Bareskrim polisi masih memeriksa kedelapan orang tersebut secara intensif.
Lima dari delapan orang tersebut kini telah ditetapkan sebagai tersangka terkait demo tolak Omnibus Law yang berujung kericuhan.
Kelimanya ialah Ketua KAMI Medan Khairi Amri dan tiga anggotanya, yaitu Juliana, Devi, dan Wahyu Rasari Putri.
Sedangkan, satu orang lainnya ialah Kingkin Anida dari KAMI Jakarta.
"Yang sudah 1x24 jam (pemeriksaan, Red) sudah jadi tersangka. Tapi yang masih belum, masih proses pemeriksaan hari ini," kata Brigjen Awi di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (13/10/2020).
Lalu bagaimana dengan tiga petinggi KAMI?
Baca juga: 6 Pertandingan Uji Coba di Kroasia, Lawan Pamungkas Timnas U-19 Indonesia Masih Misteri
Baca juga: Bioskop di Bekasi Wajib Ajukan Simulasi Sebelum Beroperasi
Sampai saat ini tiga orang petinggi KAMI, yaitu Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, dan Anton Permana masih berstatus terperiksa.
Bareskrim Polri pun masih terus mendalami keterlibatkan tiga orang tersebut dalam kericuhan yang terjadi saat aksi demo tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja Kamis (8/10/2020) lalu.
"Yang dalam pemeriksaan 1 x 24 jam ini tentunya Polri akan melakukan pemeriksaan intensif sembari juga menunggu yang beberapa belum ada pengacaranya kita tunggu, tentunya nanti akan ditindaklanjuti terkait dengan penyidikannya," jelasnya.
Lebih lanjut, Awi mengatakan kelima tersangka dijerat dengan pasal ujaran kebencian ataupun permusuhan terkait aksi unjuk rasa penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Hal itu termaktub dalam 45 A ayat 2 UU RI nomor 19 tahun 2014 tentang ITE dan atau pasal 160 KUHP.
Baca juga: Tega Cabuli Murid yang Berusia 13 Tahun, Guru Ngaji di Palembang: Saya Bilang Mau Latihan Pernapasan
Baca juga: 70 Orang Anak di Bawah Umur Diamankan di Lampu Merah Coca Cola, Diduga Hendak Ikut Demo
Dalam beleid pasal tersebut, seluruh tersangka terancam kurungan penjara 6 tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.
"Mereka dipersangkakan setiap orang yang sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu ataupun kelompok tertentu didasarkan atas SARA dan atau penghasutan," ungkapnya.
Dalam kasus ini, pihak kepolisian masih enggan merinci secara detail peran masing-masing tersangka dalam kasus tersebut.
Termasuk dengan barang bukti yang didapatkan polri terkait kasus ini.
Nantinya, pihaknya berjanji akan mengungkap kasus tersebut setelah penyidik melakukan pemeriksaan secara intensif kepada seluruh tersangka.
Terungkap percapakan petinggi KAMI saat demo Omnibus Law
Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Awi Setiyono mengatakan, delapan orang itu ditangkap karena diduga telah melakukan penghasutan.
"Ini terkait demo Omnibus Law yang berakhir anarkis. Patut diduga mereka-mereka itu memberikan informasi yang menyesatkan berbau SARA dan penghasutan," kata Awi di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Selasa (13/10/2020).
Tim Siber Bareskrim Polri, jelas Awi, telah memeriksa percakapan yang ada di ponsel delapan orang tersebut.
"Kalau rekan-rekan membaca WA-nya ngeri. Pantas kalau di lapangan terjadi anarki, itu mereka masyarakat yang tidak paham betul, gampang tersulut," ujar dia.
"Mereka memang direncanakan sedemikian rupa untuk membawa ini membawa itu, melakukan pengerusakan. Itu ada jelas semua, terpapar jelas," tambahnya.
Dikatakan Awi, orang pertama yang ditangkap adalah Ketua KAMI Medan Khairi Amri..
"Tanggal 9 Oktober 2020 atas nama KA ditangkap tim siber Sumatera Utara," ujar dia.
Sehari berselang, Tim siber Polda Sumatera Utara menangkap Juliana dan Devi.
"Kemudian tanggal 12 Oktober 2020 ditangkap atas nama WRP oleh tim siber Polda Sumatera Utara," tutur Awi.
Empat orang petinggi kami lainnya ditangkap Bareskrim Polri di sejumlah wilayah di Jakarta.
Awi mengungkapkan, penangkapan Anton Permana dilakukan di Rawamangun, Jakarta Timur pada 12 Oktober 2020 antara pukul 00.00 hingga 02.00.
"Tanggal 13 Oktober ada dua kali penangkapan. Yang pertama ditangkap atas nama SG ditangkap di Depok pada pukul 04.00 tadi pagi. Kemudian yang kedua saudara JH ditangkap di Cipete Jakarta Selatan sekitar pukul 05.00," ungkap dia.
Sebelumnya, sambung dia, Bareskrim Polri telah menangkap Kingkin Anida di kawasan Tangerang Selatan pada 10 Oktober 2020 sekitar pukul 13.30 WIB.
"Mereka dipersangkakan melanggar: setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu atau kelompok tertentu berdasarkan atas SARA dan atau penghasutan," kata Awi.
Mereka dijerat Pasal 45 A ayat 2 Undang-Undang RI Nomor 19 tahun 2016 tentang ITE dan atau pasal 160 KUHP tentang penghasutan dengan ancaman hukuman enam tahun penjara.
Sosok Penting Era SBY
Jumhur Hidayat, satu dari empat anggota KAMI yang ditangkap di Jakarta, pernah menjadi sosok penting di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sejak muda, Jumhur Hidayat adalah aktivis sosial dan dikenal luas oleh publik.
Pria yang lahir di Bandung, 18 Februari 1968 ini sudah menjadi aktivis sejak masih berstatus mahasiswa di Institut Teknologi Bandung (ITB).
Jumhur pernah dipenjara karena terlibat dalam aksi mahasiswa yang menolak kedatangan Menteri Dalam Negeri Rudini pada 1989.
Selain menjadi aktivis, dia pun pernah meniti karier politik lewat Partai Daulat Rakyat yang mengikuti Pemilu 1999. Posisinya sebagai Sekretaris Jenderal.
Jumhur masih menempati jabatan yang sama saat Partai Daulat Rakyat bergabung bersama tujuh partai politik lain untuk membentuk Partai Sarikat Indonesia pada 2002.
Partai Sarikat Indonesia gagal dalam Pemilu 2004. Setelahnya, Jumhur meninggalkan kegiatan politik dan lebih memilih dunia pergerakan.
Dia sempat bergabung pula dengan organisasj Gabungan Serikat Pekerja Merdeka Indonesia (Gaspermindo).
Kariernya naik saat ditunjuk sebagai Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) pada 2007.
Jumhur menjabat selama tujuh tahun, hingga pada 2014 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberhentikannya melalui Surat Keputusan pemberhentian yang ditandatangani SBY pada 11 Maret 2014.
Berdasarkan catatan pemberitaan Kompas.com, Jumhur diberhentikan SBY dengan alasan penyegaran. Ia telah menjabat lebih dari tujuh tahun.
Dalam Pasal 117 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 antara lain diatur bahwa jabatan pimpinan tinggi hanya dapat diduduki paling lama 5 (lima) tahun.
Oleh karena itu, pejabat eselon I, yang sudah lebih dari 5 tahun menduduki jabatan yang sama, harus dimutasi ke jabatan lain, atau diberhentikan.
Namun, ada juga yang mengaitkan pemecatan Jumhur dilakukan setelah dia bergabung dengan PDIP.
Berdasarkan catatan pemberitaan Tribunnews.com, di tahun yang sama Jumhur mendirikan Aliansi Rakyat Merdeka (ARM) dan mendukung pemenangan PDIP serta pencalonan Joko Widodo sebagai calon Presiden pada Pemilu 2014.
Saat itu, Jumhur mengaku tidak ada kesepakatan khusus dengan parpol tersebut.
"Saya memilih PDIP atas kehendak sendiri, dan tidak ada deal apa-apa dengan PDIP, ingat ini ya. Saya pokoknya itu dijalankan (Trisakti Bung Karno) sudah cukup," kata Jumhur usai menghadiri deklarasi ARM Yogyakarta mendukung pencapresan Jokowi di Nusantara Café, Jalan Nologaten, Sleman, DIY, Kamis (20/3/2014).
Menurut dia, pendirian ARM pada 8 Maret lalu dan pemilihan PDIP dalam pemenangan Pemilu mendatang adalah murni atas kehendaknya sendiri.
Ia juga menolak bahwa bergabungnya dirinya itu karena kekecewaannya atas ditolaknya sebagai peserta Konvensi Capres Partai Demokrat, serta dipecatnya dari jabatan Kepala (BNP2TKI)11 Maret lalu.
"Saya adalah civil society menjabat sebagai Kepala BNPTKI dan saya terima kasih memeroleh pengalaman di situ," ucap Jumhur.
"Namun saya harus punya orientasi politik, ya seperti Trisakti Bung Karno. Maka saya melihat waktu itu ada kesempatan untuk konvensi, kalau saya ada di situ pasti bisa ikut. Tapi saya tidak diajak," ia menambahkan.
Padahal, lanjutnya, setiap warga negara memiliki hak untuk bergabung dalam konvensi capres tersebut.
Namun, ia justru mengaku tidak diberikan kesempatan untuk berkompetisi menuangkan gagasan-gagasan demi kemajuan bangsa.
"Setiap warga negara punya hak. Bukannya kecewa. Saya tidak boleh ikut artinya ya saya boleh ke mana saja," ujar dia.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com, Tribunnews.com dan TribunJakarta.com dengan judul "Polisi Sebut Petinggi KAMI Ditangkap karena Sebarkan Narasi Permusuhan", 5 Anggota KAMI Ditetapkan Tersangka Demo Tolak Omnibus Law, Dijerat Pasal Ujaran Kebencian, dan Terungkap Percakapan Petinggi KAMI Saat Demo Omnibus Law, Polri: Kalau Baca WA-nya Ngeri!