Pengamat Politik Pertanyakan Keputusan Pembubaran FPI: Agak Membingungkan
Pengamat Politik Lingkar Madani Ray Rangkuti mempertanyakan keputusan pembubaran Front Pembela Islam (FPI)
Penulis: Gerald Leonardo Agustino | Editor: Satrio Sarwo Trengginas
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Gerald Leonardo Agustino
TRIBUNJAKARTA.COM, TANJUNG PRIOK - Pengamat Politik Lingkar Madani Ray Rangkuti mempertanyakan keputusan pembubaran Front Pembela Islam (FPI) oleh Kemenko Polhukam.
Ia menilai, kebijakan pembubaran ormas tersebut cenderung menyalahi aturan dan membingungkan.
Sebab, menurut Ray, dalam poin pertama Surat Keputusan Bersama (SKB) enam menteri, FPI dinyatakan tidak terdaftar dan secara de jure bubar.
"Tidak terdaftar dan karena itu dinyatakan bubar agak membingungkan. Sebab, satu ormas dinyatakan bubar atau tidak merupakan keputusan internal ormas itu sendiri. Bukan keputusan pemerintah," kata Ray dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Rabu (30/12/2020).
Kemudian, Ray menyinggung kebijakan yang tertuang dalam UU nomor 17 tahun 2013 tentang Keormasan atau Organisasi Kemasyarakatan.
Baca juga: Ditetapkan Jadi Ormas Terlarang, Ini Komentar FPI Kabupaten Tangerang
Baca juga: Hentikan Kegiatan FPI, Pemerintah Putarkan Video Rizieq Shihab Lakukan Provokasi hingga Dukung ISIS
Baca juga: Dibubarkan Pemerintah, Kuasa Hukum Sebut FPI Berencana Berganti Nama
Menurut dia, meskipun dalam beleid tersebut pemerintah diberi kewenangan untuk melarang kegiatan ormas sebagaimana diatur dalam pasal 59, larangan itu bukan dengan sendirinya merupakan pembubaran ormas yang dimaksud.
Ia melihat bahwa pembubaran suatu ormas mestinya mengikuti AD/ART ormas bersangkutan, bukan keputusan pemerintah.
Ray berendapat, ormas yang tidak didaftarkan atau tidak berbadan hukum tidak bisa dilarang melakukan aktivitas keorganisasiannya.
"UU Keormasan hanya mengatur dua sifat ormas: yang pertama, ormas yang terdaftar. Kedua, ormas yang berbadan hukum," kata Ray.
"Jadi melarang satu ormas yang tidak didaftarkan, apalagi berbadan hukum, merupakan kewenangan baru yang nampaknya ditambah sendiri oleh pemerintah pada dirinya," sambungnya.
Ray kemudian menambahkan bahwa dalam UU Keormasan, tidak ditemukan kewajiban warga negara yang mendirikan ormas untuk mendaftarkan atau mendapatkan badan hukum kepada pemerintah.
"Jadi ini sifatnya opsional. Boleh didaftarkan, tapi juga boleh tidak. Satu ormas yang didaftarkan atau berbadan hukum, maka ia harus tunduk pada aturan sesuai UU Keormasan," kata Ray.
"Tapi ormas yang dicabut sifat terdaftar atau badan hukumnya, tidak dengan sendirinya menjadi ormas yang bubar, apalagi jadi ormas yang dilarang," ucap Ray.
Ia juga menyinggung pasal 61 ayat 1 undang-undang tersebut, terutama soal sanksi administratif yang tertuang di dalamnya.