Sisi Lain Metropolitan

Kisah Hidup Perempuan di Kampung Pemulung Pondok Labu: Gali Lobang Tutup Lobang

Menjadi pemulung merupakan cara mereka bertahan hidup meski pendapatannya dari hasil mengangkuti sampah yang teronggok di kota tak menentu.

Penulis: Satrio Sarwo Trengginas | Editor: Erik Sinaga
TribunJakarta/Satrio Sarwo Trengginas
Pemulung perempuan, Sinem (55) di rumah tinggalnya di Kampung Pemulung, Cilandak, Jakarta Selatan pada Senin (18/1/2021). 

Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Satrio Sarwo Trengginas

TRIBUNJAKARTA.COM, CILANDAK - Para perempuan di Kampung Pemulung Pondok Labu RT 011 RW 009 sehari-hari menyambung hidup dengan mengais sampah.

Menjadi pemulung merupakan cara mereka bertahan hidup meski pendapatannya dari hasil mengangkuti sampah yang teronggok di kota tak menentu.

Salah satu warga Kampung Pemulung, Hasnah (40) sudah akrab dengan sampah. 

Pemandangan di depan rumahnya sehari-hari dipenuhi lautan sampah yang berjibun setiap hari.

Saat ditemui, Hasnah sedang merapikan hasil memulung di tengah bongkahan sampah.

Kedua tangannya sedang mengencangkan tali rafia yang diikat pada tumpukan kardus. 

Janda anak tiga ini juga mengecek sampah yang tersimpan dalam karung goni miliknya.

Hasnah (40), pemulung perempuan di Kampung Pemulung, Cilandak, Jakarta Selatan pada Senin (18/1/2021).
Hasnah (40), pemulung perempuan di Kampung Pemulung, Cilandak, Jakarta Selatan pada Senin (18/1/2021). (TribunJakarta/Satrio Sarwo Trengginas)

Plastik dan kardus menjadi sumber pendapatan Hasnah di tengah kehidupan yang muram akibat pandemi Covid-19.

Selama pandemi, pendapatan warga RT 011 RW 009 Pondok Labu tersebut naik turun. Dalam sebulan, ia biasanya menimbang dua kali. 

"Pendapatan rata-rata Rp 260 ribu sampai Rp 300 ribu sebulan. Paling gede segitu, kan saya keliling cuma pakai karung," ungkapnya saat ditemui TribunJakarta.com pada Senin (18/1/2021).

Hasnah belum lama ini menjadi seorang pemulung.

Dulu, perempuan beranak tiga ini tinggal mengontrak di kampung pemulung bersama suaminya.

Suaminya kala itu bekerja sebagai tukang sapu di Pasar Cipete, Cilandak, Jakarta Selatan sedangkan Hasnah menjadi ibu rumah tangga.

Namun, selepas suaminya tutup usia, Hasnah harus berjuang menghidupi diri sendiri serta anak bontotnya yang masih berusia 11 tahun.

Hasnah akhirnya memilih menjadi pemulung agar bisa menyambung nyawa keluarganya. 

Ia memutuskan bekerja dengan Rubiyo (60), pengepul di Kampung Pemulung Pondok Labu. Hasnah pun dibebaskan biaya kontrak rumah. Ia dipinjami uang dari Rubiyo setiap hari untuk biaya makan. 

Timbal baliknya, Hasnah berkewajiban menyetor sampah ke pelapak tersebut.

Hasil dari pungutan sampah yang dijualnya, ia ganti kepada Rubiyo.

"Dulu ngontrak sama Pak Rubiyo. Semenjak suami saya enggak ada, jadi ngikut mulung di tempat Pak Rubiyo. Biaya kontrakan digratiskan," ungkapnya.

Dalam sehari, Hasnah memulung sebanyak dua kali. Ia berangkat membelah permukiman dan jalan raya Ibu Kota mulai pukul 05.30 WIB hingga pukul 07.30 WIB dan pukul 15.30 WIB sampai 17.00 WIB.

Namun, Hasnah jarang menuai untung lebih dari hasil mengais sampah di jalanan.

Malahan, pemasukannya kadang terkuras untuk biaya makan, jajan dan listrik setiap bulan.

Ia pun tak ada pilihan selain berutang.

"Ini aja sudah minjem lagi ke pak Rubiyo," ungkap perempuan yang tinggal di bedeng reot berdinding triplek itu.

Warga kampung pemulung Pondok Labu lainnya, Yani (32) juga senasib dengan Hasnah.

Ia tampak duduk di depan balai pertemuan warga sambil menyantap dengan nikmat semangkuk bakso yang dicampur nasi bersama anaknya.

Yani bersama suaminya sudah empat tahun meninggalkan Klaten, Jawa Tengah demi mengadu nasib menjadi pemulung.

Di kampung pemulung, Yani juga menjadi anak buah Rubiyo.

Ia kerap kali dipinjami uang untuk biaya makan oleh pelapak tersebut.

Namun, sistem semacam ini ibarat gali lobang tutup lobang.

Sebab, hasil memulung dalam sebulan saat pandemi terkadang tidak cukup untuk melunasi utangnya. 

Yani bahkan kembali berutang untuk biaya hidup selanjutnya setelah baru melunasi utangnya kepada Rubiyo.

"Kemarin udah minjem uang Rp 500 ribu buat makan. Itu pun masih kurang buat makan. Kalau dapatnya Rp 520 ribu sekali nyetor, untung 20 ribu. Nanti minjem uang Rp 500 ribu lagi" ujarnya.

Pelapak Lepas

Gerobak sampah milik suami Sinem, Sugeng di Kampung Pemulung Pondok Labu RT 011 RW 009, Pondok Labu, Cilandak, Jakarta Selatan pada Senin (18/1/2021).
Gerobak sampah milik suami Sinem, Sugeng di Kampung Pemulung Pondok Labu RT 011 RW 009, Pondok Labu, Cilandak, Jakarta Selatan pada Senin (18/1/2021). (TribunJakarta/Satrio Sarwo Trengginas)

Bila Hasnah dan Yani bekerja di bawah kendali pengepul, Sinem (55) berbeda.

Sinem merupakan pemulung lepas di kampung pemulung itu. Sebagai gantinya, Ia dan suaminya, Sugeng, menanggung beban biaya kontrakan rumah per bulan. 

Ia pun tak bisa berutang kepada pengepul. 

Hanya saja, ia beruntung harga sampah per kilo yang disetornya lebih tinggi ketimbang harga per kilo yang dipasang pengepul. 

Pasalnya, pengepul memasang tarif rendah per kilo kepada para anak buahnya.

"Kalau ngikut bos, per kilonya dibeli murah, tetapi dia enggak bayar rumah. Kalau saya kan bayar (rumah kontrakan per bulan)," terangnya.

Sinem memulung sekali dalam sehari. Tiap sore, ia berangkat pukul 16.00 WIB sampai jam 00.00 WIB. Biasanya ia memulung di sekitar kawasan Pondok Labu seperti di Jalan Haji Ipin dan Jalan Haji Kamang. 

"Biasanya ngambil plastik, kardus, botol. Mencari di warung rokok pinggir jalan," ungkapnya.

Sugeng tak hanya mengais rezeki sebagai pemulung melainkan juga sebagai kuli bangunan. Bila tak ada panggilan menggarap bangunan, Sugeng dan Sinem memulung sembari menarik gerobak di jalan.

Dalam sebulan, mereka berdua menimbang sekali di tempat lain.

"Menimbangnya tiga minggu sekali, dua orang nyari sampah biasanya dapat Rp 2 juta," lanjutnya.

Pemulung lainnya, Rosita (55) juga menjual sampahnya bukan kepada Rubiyo.

Setiap memulung, ia langsung menimbang di pelapak lain.

"Sekali nimbang paling dapatnya Rp 20 ribu kadang Rp 15 ribu," ungkapnya.

Dalam sebulan, Rosita mendapatkan uang sekira Rp 300 ribu. Ia membayar kontrakan seharga Rp 150 ribu per bulan ditambah biaya listrik sesuai pemakaian.

Baca juga: Borong 2 Gol Saat AC Milan Kalahkan Cagliari, Zlatan Ibrahimovic Dimotivasi Para Pemain Muda

Baca juga: Buat Roti Isi Cokelat Sendiri Tanpa Oven dan Mixer: Cocok Untuk Temani Santai Sambil Ngopi di Rumah

"Sayangnya kalau hujan di sini banjir," ujarnya.

Meski pemulung dipandang sebelah mata, mereka menanggalkan rasa gengsinya demi sesuap nasi.

Yang terpenting, mereka masih bisa bertahan hidup meski pendapatannya pas-pasan.

Seperti tulisan yang berada di gerobak milik Sugeng "Ora mulung, ora mangan, Bro."

Sumber: Tribun Jakarta
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved