Kisah dari Ciliwung

Kisah Aris, Anak Pinggiran yang Setia Hidup Berdampingan Bersama Kali Ciliwung

Kali Ciliwung, yang mengalir di belakang bedengnya ibarat kolam renang milik Aris dan teman-temannya. Ia bisa kapan saja nyebur ke kali

Penulis: Satrio Sarwo Trengginas | Editor: Muhammad Zulfikar
TribunJakarta.com/Satrio Sarwo Trengginas
Aris (25) warga bantaran kali Ciliwung RT 005 RW 011, Manggarai Utara, Tebet, Jakarta Selatan berdiri di dekat rumahnya pada Jumat (12/3/2021). 

Pengendara yang terhibur melihat aksi Aris rela merogoh kocek dan melemparkan uang dari atas jembatan. 

"Kadang-kadang ada bang yang ngasih Rp 50 ribu," katanya.

Di dekat permukimannya terdapat dua jembatan yang berdampingan. Jembatan kereta tua peninggalan Belanda dan jembatan kereta baru untuk jalur double-double track (ddt) rute Manggarai - Bekasi.

Aris sudah biasa menceburkan diri dari atas jembatan tua itu ke kali. 

Namun, ketika banjir bulan kemarin, ia iseng naik ke atas jembatan baru yang posisinya lebih tinggi untuk terjun ke bawah. 

Sensasinya pun beda. Ini olahraga ekstrem yang memacu adrenalin gratis khas orang kampung.

"Saya pas banjir, loncat dari jembatan baru itu tuh. Kalau jembatan tua mah udah ngerasain puluhan kali," ungkapnya.

Kali Ciliwung, yang mengalir di belakang bedengnya ibarat kolam renang milik Aris dan teman-temannya. Ia bisa kapan saja nyebur ke kali tanpa dipungut biaya.

Kali itu juga sebagai tempat Aris belajar berenang secara otodidak. Kemampuan berenang setidaknya harus dimiliki anak-anak bantaran kali.

Bila tidak, anak itu bisa-bisa akan terbawa derasnya arus lalu tenggelam. Banyak kasus seperti itu terjadi di Kali Ciliwung.

"Kemarin di sini ada tiga orang yang hanyut. Untung diselametin sama orang Kebon Pala," lanjutnya.

Akan tetapi, tak sembarang orang langsung bersahabat dengan Ciliwung apalagi saat banjir. Sebagian besar anak-anak yang nekat berenang karena memang punya nyali.

Ciliwung sudah akrab bagi pemuda itu. Saat masih kecil, Aris bersama teman-temannya sering menyusuri kali Ciliwung dari kawasan Kampung Melayu hingga Manggarai.

Ia menyebutnya 'ngoyor', menenggelamkan setengah badan sembari menyusuri kali.

Agar tetap mengapung, mereka membawa gedebok pisang atau gabus sebagai pelampung. 

Halaman
1234
Sumber: Tribun Jakarta
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved