Sisi Lain Metropolitan
Lelah Tak Berujung Penggali Kubur TPU Pondok Ranggon, Makamkan 5.000 Jenazah hingga Dijauhi Tetangga
Tugas berat sudah dilakukan Junaedi (43) seorang tukang gali kubur di Taman Pemakaman Umum (TPU) Pondok Ranggon, Kecamatan Cipayung
TRIBUNJAKARTA.COM, CIPAYUNG - Tugas berat sudah dilakukan Junaedi (43) seorang tukang gali kubur di Taman Pemakaman Umum (TPU) Pondok Ranggon, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur.
Sepanjang pandemi, satu tahun terakhir Junaedi mengemban tugas yang berat yaitu memakamkan jenazah pasien Covid-19.
Sudah lebih dari 5.000 jenazah pasien Covid-19 dikuburkannya di TPU Pondok Ranggon.
Awal adanya jenazah pasien Covid-19 yang dikuburkan di tempat kerjanya, ia merasa takut dan khawatir tertular Covid-19 dan menularkan karena bersentuhan secara langsung.
Karena tugas dan tanggung jawab sebagai tukang gali kubur, rasa takut dan khawatir itu ia singkirkan.
"Rasa takut itu manusiawi ya, takut dan khawatir dari keluarga itu cukup besar karena jangan sampai saya pulang justru membawa penyakit untuk keluarga," kata Junaedi kepada Wartakotalive.com, Selasa (17/8/2021).
Selain kekhawatiran keluarga, para tetangga tempat tinggal Junaedi terkadang merasakan hal yang sama.
Bahkan, Junaedi pernah ketika pulang ke rumah semua tetangganya langsung menghindar dan menutup pintu rumah.
Baca juga: Mas Anies Beri Nama Blok Pemakaman di TPU Rorotan: Syuhada dan Santo Yosef-Arimatea, Ini Artinya
Karena pekerjaan dan tanggung jawab Junaedi dianggap sebagai pembawa wabah di lingkungan tempat tinggalnya.
Namun demikian, Junaedi tetap berusaha menyakini keluarga dan tetangganya, bahwa ketika pulang ke rumah ia sudah dalam keadaan bersih dan bebas virus.
Junaedi mengaku dirinya hanya menjalankan tugas secara maksimal dan tidak ingin mengecewakan keluarga pasien Covid-19.
Sehingga hukum sosial yang diberikan para tetangganya disikapi dengan bijak sana.
Seiring berjalan waktu, kini para tetangganya tidak lagi memberikan hukum sosial.
"Hukum sosial itu wajar ya, karena kita bersentuhan langsung, tapi seirimg berjalannya waktu, tetangga memahami dengan sendiri," kata dia.
Hal ini terbukti selama satu tahun sebagai tukang gali kubur, Junaedi dan keluarga belum pernah terpapar Covid-19.
Dengan begitu, maka keluarga dan tetangga menilai bahwa Junaedi pulang dalam keadaan bebas Covid-19.
"Sebelumnya kami pulang, kami membersihkan diri dulu, karena ada beberapa titik juga di sini tempat untuk bisa mandi, kami bersihkan diri dulu. Setelah mandi, baru pulang," jelas dia.
Junaedi menceritakan, menjadi garda terdepan dalam penanganan Covid-19 terkadang mendapat komentar tidak baik dari netizen.
Sebab, ia pernah melihat di sosial media ketika petugas makam menggali kubur tidak menggunakan alat pelindung diri (APD) dihujat.
Baca juga: Peziarah Dukung Penamaan Blok Makam Syuhada dan Santo Yosef-Arimatea di TPU Rorotan
Padahal, para netizen itu tidak mengetahui kondisi tukang gali kubur di lokasi pemakaman.
Menurut Junaedi, petugas yang tidak menggunakan APD bukan karena nekat atau menantang Covid-19 dan membahayakan diri.
Sebab saat menggunakan APD, tenaga petugas gali kubur terkuras dua kali lipat.
Belum lagi panasnya terik matahari yang membuat kucuran keringat terus membasahi pakaiannya.
"Seandainya dipaksa untuk menggunakan APD ketika penggalian karena saat kami menurunkan jenazah dari ambulance ke lubang lahat pun itu juga sudah kelelahan, karena terik matahari yang begitu panas kemudian bikin cepat keluar keringat banyaklah," tutur dia.
Kemudian petugas menyiasatinya ketika menggali kubur, petugas tidak menggunakan APD.
Setelah selesai menggali, barulah petugas memakai APD untuk menurukan jenazah Covid-19 dari ambulance ke liang lahat.
Duka lainnya yang dialami oleh Junaedi selama memakamkan pasien Covid-19 adalah soal cuaca yang tidak mendukung.
Junaedi pernah saat hujan deras ia tetap bekerja menggali kubur karena pekerjaannya tidak bisa ditunda.
"Terus faktor tanah yang kadang menemukan bebatuan itu pun boleh dibilang hal yang sedikit tidak mengenakan lah," ucap Junaedi.
Junaedi bekerja di TPU Pondok Ranggon, Jakarta Timur dari Pukul 07.00 WIB sampai pukul 04.00 WIB.
Meski begitu, Junaedi lebih sering pulang kerja melewati batas waktu yang ditentukan.
Alasannya karena ada saja jenazah yang ingin dikuburkan datang tidak tepat waktu ke TPU Pondok Ranggon.
Sementara untuk gaji selama pandemi Covid-19 ini tidak pernah telat atau macet.
Namun, Junaedi tidak menjelaskan secara rinci berapa jumlah gaji yang diterima setiap bulannya.
"Kendala paling keterlambatan proses pengiriman ke TPU dan kami harus nunggu, ya nunggu itu enggak bisa ngukur sampai jam berapa, kadang sampai 23.00-00 WIB," kata dia.
Junaedi baru bisa sampai di rumahnya sekira pukul 01.00 WIB dan saat pulang keluarganya sudah pada tidur.
Baca juga: Makna di Balik Plakat Blok Makam Syuhada dan Blok Makam Santo Yosef-Arimatea di TPU Rorotan
Ada beberapa faktor yang menyebabkan keterlambatan jenazah dikirim ke TPU Pondok Ranggon.
Bisa dari Keluarga jenazah dan bisa juga karena mengurus proses pengiriman jenazah dari rumah sakit.
"Keterlambatan entah itu di rumah sakit atau dari sisi mana, yang jelas keterlambatan datang untuk ke pemakaman," ujar Junaedi.
Meski ada suka duka, tapi Junaedi merasa bangga karena ia bisa melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain.
Junaedi memaknai Kemerdekaan ke-76 Republik Indonesia dengan menjalankan tugas secara ikhlas dan tanpa beban.
Ia berharap pandemi Covid-19 di Jakarta bisa segera berakhir dan tidak ada lagi jenazah yang dimakamkan secara protap Covid-19.
"Saya memaknai kemerdekaan itu dengan menjalankan tugas bukan suatu beban, dengan saya tidak menjadikan beban maka saya sudah merasa merdeka dalam hidup," tutur dia. (*)
Artikel ini telah tayang di WartaKotalive.com dengan judul Selama Setahun Pandemi, Junaedi Kuburkan 5.000 Jenazah Covid-19, Malah Sempat Dijauhi Tetangga
