Lokal Bercerita

Kisah Inspiratif Risma Pasukan Oranye Ancol: Meski Tunarungu-Tunawicara, Bisa Bantu Ekonomi Keluarga

"Dengan keterbatasan beliau, kita tidak sulit berkomunikasi, tidak sulit untuk mengarahkan bagaimana bekerja."

Rusmin dan banyak ASN lain di Kantor Kelurahan tersebut menilai Risma sebagai pribadi yang memiliki semangat kerja tinggi.

Risma sedang memfotokopi berkas di Kelurahan Ancol.
Risma sedang memfotokopi berkas di Kelurahan Ancol. (Gerald Leonardo Agustino/TribunJakarta.com)

Keterbatasannya tak membuat gerak Risma ikut terbatas. Ia tak malu bersaing dan membuktikan, kinerjanya bisa lebih baik dari orang-orang normal di kantor kelurahan.

Setiap hari Risma selalu datang tepat waktu, bahkan lebih awal ketimbang pegawai-pegawai lainnya.

Risma pun selalu pulang belakangan, terkadang sampai azan Magrib. Ia belum mau pulang apabila masih ada ASN yang beraktivitas di kantor kelurahan

"Mbak Risma itu semangat kerjanya tinggi. Dia pagi-pagi sudah datang, jam 7 sudah datang dan pulang pun telat," ucap Rusmin.

Bangkit Jadi Korban Perundungan

Risma menyelesaikan pendidikan di SLB Negeri 04 Jakarta Utara sekitar 13 tahun. Dari masih usia 7 sampai 20 tahun.

Chaterina Rugiyem bercerita, putri tercintanya itu masuk SLB setelah dinyatakan dokter mengalami masalah pada pendengaran dan kemampuan berbicaranya.

Baca juga: Cerita Anggota PPSU Cipinang Muara Raih S-1 dengan Predikat Cumlaude

Risma kecil beberapa kali mengalami kecelakaan. Di usia sekitar 1 tahun sering terjatuh saat masih dimomong sang nenek di kampungnya, Cilacap, Jawa Tengah.

Mulanya, Chaterina menganggap tak ada masalah serius dengan kesehatan Risma. Hari demi hari, barulah ia merasakan ada yang ganjil pada anaknya.

Satu ketika Chaterina mendapati Risma kecil tak merespon saat petir menggelegar. Ia memperhatikan gestur tubuhnya biasa saja, tangisnya tak pecah.

Risma diantar ibunya, Chaterina Rugiyem ke Kelurahan Ancol.
Risma diantar ibunya, Chaterina Rugiyem ke Kelurahan Ancol. (Gerald Leonardo Agustino/TribunJakarta.com)

"Saya awal mengerti anak saya tunarungu setelah sering jatuh, kepalanya terbentur. Saya belum paham gendang telinganya kena," cerita Chaterina.

Berbilang tahun, Chaterina terus memastikan kondisi kesehatan sang anak.

Sampai memasuki usia sekolah, Risma dibawa Chaterina ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo untuk menjalani tes BERA (Brain Evoked Response Auditory).

Tes BERA ialah pemeriksaan pendengaran yang dilakukan pada anak-anak balita.

Sumber: Tribun Jakarta
Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved