LPSK Usulkan Kerangkeng Manusia di Langkat Dijadikan Museum Perbudakan

LPSK mengusulkan kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat non aktif Terbit Rencana Perangin Angin dijadikan museum perbudakan.

Penulis: Bima Putra | Editor: Wahyu Septiana
Kolase Tribun Jakarta via Tribun Medan
Praktik penyiksaan tak manusiawi kepada korban kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat non aktif, Terbit Rencana Perangin Angin menggunakan kode khusus. 

Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Bima Putra

TRIBUNJAKARTA.COM, CIRACAS - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengusulkan kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat non aktif Terbit Rencana Perangin Angin dijadikan museum perbudakan.

Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengatakan pihaknya berharap kerangkeng tersebut dapat disita negara dan nantinya dijadikan sebagai museum perbudakan manusia.

"Sebaiknya dilakukan penyitaan. Dan nanti diusulkan kepada hakim untuk dikuasai oleh negara, dan dibuat sebagai museum perbudakan manusia," kata Edwin di Jakarta Timur, Rabu (23/3/2022).

Menurutnya seluruh tindak pidana yang terjadi di kerangkeng manusia seperti tindak pidana perdagangan orang (TPPO), kekerasan terhadap anak, penistaan agama, pembunuhan, perlu diingat.

Seluruh perbuatan keji itu dilakukan Terbit dengan kedok panti rehabilitasi narkoba, dan dilakukan secara teroganisir dengan melibatkan sipil, ASN, Ormas, bahkan oknum TNI-Polri.

Baca juga: LPSK: Tidak Ditahannya 8 Tersangka Kerangkeng Langkat Jadi Ancaman ke Saksi dan Korban

Dalam 10 tahun terakhir setidaknya ada 600 tahanan yang dipaksa bekerja di perkebunan dan penyediaan pakan ternak milik Terbit, mereka diperbudak tanpa menerima gaji sebagaimana pekerja.

"Pengingat kepada seluruh orang bahwa pernah terjadi perbuatan yang  bertentangan dengan Pancasila, bertentangan dengan kemanusiaan," ujarnya.

Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu (kanan) dan Kepala Biro Penelaahan Permohonan LPSK Muhammad Ramdan saat memberi keterangan terkait kasus kerangkeng manusia di rumah Bupati non aktif Langkat, Jakarta Timur, Rabu (9/3/2022).
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu (kanan) dan Kepala Biro Penelaahan Permohonan LPSK Muhammad Ramdan saat memberi keterangan terkait kasus kerangkeng manusia di rumah Bupati non aktif Langkat, Jakarta Timur, Rabu (9/3/2022). (Bima Putra/TribunJakarta.com)

Edwin menuturkan berharap proses penyidikan Polda Sumatera Utara dapat meringkus seluruh pelaku kasus kerangkeng manusia yang memang diuntungkan atas perbudakan.

Pasalnya berdasar delapan orang yang sudah ditetapkan jadi tersangka Terbit dan anaknya berinisial DW tidak masuk dalam daftar, hal ini membuat proses hukum dipertanyakan.

"Proses hukum ini harus bisa membuktikan bahwa pembiaran yang sama saja dengan kepalanya ada pelindungan kepada pelaku, itu berakhir," tuturnya.

Baca juga: Temui Mahfud MD, LPSK Beri Satu Bundel Hasil Temuan Kasus Kerangkeng Manusia Bupati Langkat

8 Tersangka Tak Ditahan Jadi Ancaman Saksi dan Korban

Sebelumnya, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mempertanyakan alasan delapan tersangka kasus kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat non aktif Terbit Rencana Perangin belum ditahan.

Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengatakan para tersangka harusnya ditahan karena perkara Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan tewasnya tahanan kerangkeng bukan perkara ringan.

Praktik penyiksaan tak manusiawi kepada korban kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat non aktif, Terbit Rencana Perangin Angin menggunakan kode khusus.
Praktik penyiksaan tak manusiawi kepada korban kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat non aktif, Terbit Rencana Perangin Angin menggunakan kode khusus. (Kolase Tribun Jakarta via Tribun Medan)

Dia mempertanyakan alasan Polda Sumatera Utara tidak menahan para tersangka setelah proses penyidikan yang berlangsung sejak kasus terungkap pada bulan Januari 2022 lalu.

"Ya kenapa tidak ditahan? Ini bukan kejahatan penipuan, ini bukan kejahatan penggelapan, bukan juga kecelakaan lalu lintas. Ini terhadap tubuh," kata Edwin di Jakarta Timur, Selasa (22/3/2022).

Menurut hasil investigasi LPSK kasus ini kejahatan keji karena terjadi serangkaian tindak pidana seperti TPPO, penganiayaan menyebabkan kematian, kekerasan terhadap anak, penistaan agama.

Baca juga: LPSK Pertanyakan Jumlah Tersangka Kasus Kerangkeng Langkat Cuma 8 Orang, TRP dan Anaknya?

Terlebih kasus melibatkan Terbit yang merupakan kepala daerah, diduga belasan warga sipil, dan oknum anggota TNI-Polri sehingga dilakukan secara terorganisir oleh orang-orang 'berpengaruh'.

"Tidak ditahannya para pelaku pasti merupakan ancaman kepada para saksi, korban. Termasuk juga bukan hanya harus ditahan tapi juga dicekal (pergi ke luar negeri)," ujarnya.

Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu (kanan) dan Kepala Biro Penelaahan Permohonan LPSK Muhammad Ramdan saat memberi keterangan terkait kasus kerangkeng manusia di rumah Bupati non aktif Langkat, Jakarta Timur, Rabu (9/3/2022).
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu (kanan) dan Kepala Biro Penelaahan Permohonan LPSK Muhammad Ramdan saat memberi keterangan terkait kasus kerangkeng manusia di rumah Bupati non aktif Langkat, Jakarta Timur, Rabu (9/3/2022). (Bima Putra/TribunJakarta.com)

Edwin mencontohkan sejumlah korban yang sampai pergi ke luar kota karena pesimis dengan proses hukum berjalan dapat menjerat aktor utama di balik kerangkeng manusia.

Menurutnya dalam kasus TPPO penyidik wajib bertanya kepada para korban untuk memastikan mereka mendapat restitusi atau ganti rugi yang dibebankan kepada pelaku lewat proses peradilan.

Setidaknya kepada 65 orang yang masih berada dalam kerangkeng saat kasus terungkap pada Januari 2022 lalu dan dapat bebas setelah membobol gembok sel.

"Supaya pemenuhan hak korban atas restitusi itu bisa terjadi, harus dilakukan sita aset. Mereka bekerja untuk perusahaan TRP, tempat mengeksploitasi itulah disita aset," tuturnya.

Tersangka Cuma 8 Orang?

Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengatakan berdasar investigasi pihaknya lewat keterangan para korban jumlah pelaku yang terlibat dalam kasus kerangkeng manusia sebanyak 19 orang.

Bukan hanya delapan orang seperti yang dinyatakan tersangka oleh Polda Sumatera Utara dengan sangkaan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

"Kalau dari informasi yang LPSK dapat dari para korban itu setidaknya ada 19 orang pelaku. Ini termasuk oknum anggota TNI-Polri," kata Edwin saat dikonfirmasi di Jakarta Timur, Selasa (22/3/2022).

Untuk anggota TNI proses hukumnya memang ditangani Polisi Militer (Puspom) dan peradilannya ditangani Pengadilan Militer, beda dengan sipil dan anggota Polri yang ditangani secara umum.

Baca juga: Temui Mahfud MD, LPSK Beri Satu Bundel Hasil Temuan Kasus Kerangkeng Manusia Bupati Langkat

Tapi jumlah delapan tersangka yang ditetapkan Polda Sumatera Utara ini lebih sedikit karena berdasar temuan LPSK sedikitnya ada 12-15 orang sipil terlibat dalam kasus kerangkeng.

Tidak hanya jumlah tersangka yang lebih sedikit, LPSK mempertanyakan alasan Terbit dan anaknya berinisial DW tidak termasuk dalam delapan tersangka ditetapkan Polda Sumatera Utara.

"Kalau TRP (Terbit Rencana Perangin Angin) jelas belum ada (di daftar delapan tersangka), tapi kalau anaknya ada atau tidak kita masih tebak-tebak buah manggis (menerka-nerka)," ujarnya.

Sementara berdasar temuan LPSK yang sudah disampaikan kepada Menko Polhukam Mahfud MD sosok Terbit dan DW paling diuntungkan dengan keberadaan kerangkeng manusia.

Edwin pun mempertanyakan peran delapan tersangka ditetapkan Polda Sumatera Utara apakah merupakan dalang dari TPPO pada kerangkeng manusia berkedok panti rehabilitasi narkoba.

Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu (kanan) dan Kepala Biro Penelaahan Permohonan LPSK Muhammad Ramdan saat memberi keterangan terkait kasus kerangkeng manusia di rumah Bupati non aktif Langkat, Jakarta Timur, Rabu (9/3/2022).
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu (kanan) dan Kepala Biro Penelaahan Permohonan LPSK Muhammad Ramdan saat memberi keterangan terkait kasus kerangkeng manusia di rumah Bupati non aktif Langkat, Jakarta Timur, Rabu (9/3/2022). (Bima Putra/TribunJakarta.com)

Pasalnya berdasar investigasi LPSK para tahanan kerangkeng diperbudak dengan cara dipaksa bekerja di perkebunan dan penyediaan pakan ternak milik Terbit tanpa mendapat upah sama sekali.

"Apakah yang ditetapkan sebagai tersangka adalah orang yang memiliki kepentingan perbudakan tersebut. Jadi yang mengkerangkeng siapa, tujuannya apa, yang menahan siapa?," tuturnya.

Lebih lanjut, Edwin mengatakan berdasar temuan LPSK tindak pidana dalam kasus kerangkeng manusia di Langkat diduga tidak hanya TPPO dan pembunuhan seperti diungkap Polda Sumatera Utara.

Di antaranya kekerasan pada anak, penistaan agama, penganiayaan atau penyiksaan yang tidak disangkakan kepada delapan tersangka ditetapkan Polda Sumatera Utara.

"Jadi baru dua yang dirumuskan penyidik, TPPO dan pembunuhan," lanjut Edwin.

Sederet penyiksaan yang dilakukan Bupati Langkat nonaktif, Terbit Rencana Perangin Angin ke para manusia kerangkeng dirasa lebih rendah dari seorang binatang.
Sederet penyiksaan yang dilakukan Bupati Langkat nonaktif, Terbit Rencana Perangin Angin ke para manusia kerangkeng dirasa lebih rendah dari seorang binatang. (Kolase Tribun Jakarta)

Unsur penistaan agama yang dialami para korban kerangkeng manusia di rumah Terbit di antaranya tahanan beragama Muslim dilarang melakukan ibadah Salat Jumat dan dipaksa makan haram.

Adapun delapan tersangka kasus kerangkeng manusia di rumah Terbit yakni HS, IS, TS, RG, JS, DP, HG dan SP disangkakan Pasal 7 UU nomor 21 tahun 2007 tentang TPPO.

Sementara terhadap SP dan TS disangkakan Pasal 2 UU nomor 21 tahunn 2007, sangkaan dua pasal ini berdasarkan hasil penyelidikan jajaran Polda Sumatera Utara sejak kasus terungkap.

Sumber: Tribun Jakarta
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved