RKUHP: Prokontra Hukum Pidana Mengadopsi Hukum Kebiasaan

Wakil Menteri Hukum dan HAM RI Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej bicara soalRKUHP sebenarnya sudah diinisiasi sejak tahun 1958.

Istimewa
Wamenkumham Omar Sharif Hiariej saat memberi paparan perkembangan pembahasan RUU KUHP di Aula PGI, Salemba Raya, Jakarta, Kamis, (11/8/2022). 

Dirinya menyarankan, agar membiarkan apa yang baik, yang sudah ada, dengan asas legalitas tetap diperhatikan.

Wamenkumham Omar Sharif Hiariej saat memberi paparan perkembangan pembahasan RUU KUHP di Aula PGI, Salemba Raya, Jakarta, Kamis, (11/8/2022).
Wamenkumham Omar Sharif Hiariej saat memberi paparan perkembangan pembahasan RUU KUHP di Aula PGI, Salemba Raya, Jakarta, Kamis, (11/8/2022). (Istimewa)

"Saya kuatir di seluruh Indonesia berlaku adat masing-masing dan akan terjadi persingguhan dan irisan teritorial yang bisa bertentangan,” ujarnya mengingatkan.

Hal lainnya di RKUHP, ia juga menyoroti terkait penodaan agama.

Diakuinya, bahwa kebanyakan negara (ada 71) negara mempunyai hukum penodaan agama. Yang perlu diperhatikan adalah penodaan yang dimaksud apa Tata Ibadah atau Keyakinannya.

Sedangkan  terkait dengan  Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) sesuai UU TIPIKOR Pasal 2 dan 3 yang kemudian RKUHP Pasal 607 dan 608. Pidana korupsi sesuai UU Tipikor  ancaman minimun 4 tahun, kemudian diperkecil 2 tahun.

“Kalau KUHP disahkan lalu apakah nanti kasus Tipikor akan dikenakan KUHP atau UU Tipikor. Sebab  KUHP ini mengurangi hukuman dan ini menjadi masalah sendiri.”

Sementara Prof. Dr. Mompang L. Panggabean mengatakan dalam membuat KUHP di seluruh dunia selalu ada empat alasan. Alasan itu yakni alasan politis, alasan sosialis filosofis, alasan praktis dan alasan adatif. Kalau Belanda butuh 70 tahun, maka mungkin Indonesia lebih lama untuk membuat KUHP sendiri.

“Pak Wamen tadi sudah memaparkan banyak hal-hal ideal dimasukkan di RUU KUHP, kami setuju itu. Tetapi persoalannya bagaimana subtansi,  budaya dan struktur hukumnya,” kata Guru Besar UKI.

Lebih lanjut, Mompang menyoroti dan memberi catatan dalam beberapa Pasal RKUHP. Pasal 207 terkait ternak, menurutnya hal itu delik pasif. Bagaimana dengan pelaku? Dengan ada frasa membiarkan atau dengan sengaja.

Sementara Pasal 280, norma yang ada, apakah hukum dimaksud itu termasuk kepatutan dalam masyarakat.

Kedua, lanjut Mompang terkait frasa tidak hormat kepada hakim. Apakah hakim itu menjadi Tuhan di pengadilan?. Ia juga mempertanyakan kebebasan wartawan dalam meliput, wartawan seribu akal untuk mencari celah.

Kemudian Pasal 380, menggunakan kemampuan hewan diluar kodratnya.

“Di kampung kami, masih menggunakan hewan over, apakah petani nanti bisa dipidana. Padahal di sini bentuk yang disengaja,” kata ahli hukum pidana ini.

Selain itu, Mompang juga meyoroti Pasal 340 ayat 2, penggunaan bioteknologi dengan ancaman 2 tahun. Kalau kerugian besar bagaimana? Pasal 412, bagaimana kalau iklan diakses anak dari media sosial. Apa tidak lebih baik dikaitkan dengan UU ITE. Apakah melakukan  pendekatan cultural relativisme

Sementara Pasal 429, soal penggalandangan. Ini tidak efektif.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Jakarta
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved