RKUHP: Prokontra Hukum Pidana Mengadopsi Hukum Kebiasaan

Wakil Menteri Hukum dan HAM RI Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej bicara soalRKUHP sebenarnya sudah diinisiasi sejak tahun 1958.

Istimewa
Wamenkumham Omar Sharif Hiariej saat memberi paparan perkembangan pembahasan RUU KUHP di Aula PGI, Salemba Raya, Jakarta, Kamis, (11/8/2022). 

“Apa nggak lebih baik ini distop saja, lebih baik diserahkan ke kementerian sosial. Ada denda darimana, makan saja tidak bisa," katanya.

”Pasal 469, terkait aborsi tidak lebih 12 minggu dan juga terkait perkosaan. Pelaku perkosaan tidak dijelaskan siapa, biasanya laki-laki tapi aturan baru ini bisa juga perempuan. Ini tujuan pemidanaan dalam kaitan pedoman kepidanaan," tambah Mopang.

Berbeda Guru Besar  Hukum Tata Negara UKI Prof. Dr. John Pieres, yang engungkapkan hukum positif kalau aktif berlaku maka perlu menggali hukum positif dalam masyarakat.

“Apa yang disampaikan Pak Wamen saya setuju. Dasar dari hukum itu tekait  dua hal satu moralitas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusian yang beradab ini, dua sila dari Pancasila,” tukasnya.

Ia menyinggung Pasal 4, kalau ada melecehkan Presiden itu munurunkan harkat dan martabat. Itu sesuai dengan teologis Kristen yang memilii kewajiban menghormati pemerintah.

Pasal 27, menjungjung menghormati mengaxub Tap MPR No. VI/MPR/2001 tata krama dalam politik.  

Dari sumber yang dikutip, menjadi keharusan dari warga negara menjaga martabat presiden dan wakil presiden.

Terkait dengan konstruksi hukum Pidana dalam RKUHP  Pasal 217, menghina presiden ancaman  pidana penjara 5 tahun, John mengaku sependapat. Kemudian Pasal 218, menyerang kehormatan di depan umum dipidana 3 tahun 6 bulan.


Berbeda jika perbuatan untuk kepentingan  umum dan kepentingan sendiri tidak dipidana maka baiklah pengadilan memutuskan.

Demikian pada Pasal 219, setuju  dan Pasal 220, bisa dituntut dengan delik aduan.

“Tergantung presiden dan wapres, kalau Jokowi mungkin tidak menuntut tetapi berbeda dengan Presiden Trump yang cenderung reaktif,” bebernya.

Menarik pandangan Pdt. Dr. Albertus Patty MA seorang teolog Kristen.

“Sebagai orang bukan ahli hukum,  tapi sering bicara hukum taurat, saya bicara dari pengalaman lapangan saja. Apakah RKUHP itu cukup keadilan dan kebersamaan. Apakah sudah menampung keanekaragaman?” ujarnya mempertanyakan.

Sejak reformasi, kata Patty,  ada dua kecenderungan di Indonesia. Makin menguatnya konservatisme agama ini merubah berbahasa, fashion, makanan dan lainnya. Hal kedua, justru konservatisme agama menyentuh politik dan hukum, dalam  konteks nasional dan lokal.

Celakanya dalam konteks nasional konservatisme agama ini makin muncul ke permukaan. Ia mencontohkan, pernikahan beda agama ditentang Kemenag. Padahal ini realitas terjadi dari jaman dulu.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Jakarta
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved