Anak Pejabat Pajak Aniaya Pemuda

Mario Dandy Tak Bisa Bayar Restitusi Pakai Harta Rafael Alun, Ahli Pidana: Dia yang Berbuat

Mario Dandy Satriyo tidak dapat mengandalkan ayahnya, Rafael Alun Trisambodo, untuk membayar restitusi kepada Cristalino David Ozora.

Kompas Tv
Ahli hukum pidana dari Binus University, Ahmad Sofian, dihadirkan sebagai saksi dalam sidang perkara penganiayaan Cristalino David Ozora dengan terdakwa Mario Dandy Satriyo dan Shane Lukas di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa (11/7/2023). 

Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Annas Furqon Hakim

TRIBUNJAKARTA.COM, PASAR MINGGU - Mario Dandy Satriyo tidak dapat mengandalkan ayahnya, Rafael Alun Trisambodo, untuk membayar restitusi kepada Cristalino David Ozora.

Mario harus membayar sendiri restitusi tersebut karena dia yang menganiaya David. Sedangkan Rafael Alun tak terlibat aksi penganiayaan.

Hal itu disampaikan ahli pidana dari Binus University Ahmad Sofian saat dihadirkan sebagai saksi dalam sidang perkara penganiayaan David dengan terdakwa Mario dan Shane Lukas di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa (11/7/2023).

"Dalam doktrin hukum pidana kita, yang berbuat dia, yang bertanggung jawab dia. Tidak bisa jatuh kepada pengampu, ahli atau semacamnya, kecuali anak-anak," kata Sofian dalam kesaksiannya.

Adapun Mario Dandy berusia 20 tahun dan berstatus pria dewasa. Begitu pun dengan Shane Lukas yang berusia 19 tahun.

Baca juga: Kebakaran Melalap Rumah Tinggal di Cilandak, 4 Unit dan 20 Petugas Gulkarmat Meluncur ke TKP

"Kalau orang dewasa dia bertanggung jawab. Asetnya ya aset yang bersangkutan, tidak bisa dibebankan kepada orang tua," ujar dia.

Ia menjelaskan, pidana restitusi terhadap korban anak diatur dalam Undang-undang nomor 35 tahun 2014, Undang-undang nomor 23 tahun 2002, dan Undang-undang nomor 17 tahun 2016.

"Jadi pidana restitusi itu artinya ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku, untuk diberikan kepada korban," kata Sofian.

Baca juga: Viral Pria Nekat Masturbasi di KRL, Aksi Mainnya Sampai Bikin Penumpang Perempuan Syok

Sofian menuturkan, kerugian yang diderita korban harus dapat dibuktikan karena restitusi bersifat actual cost.

"Misalnya kalau korban mengalami matanya harus dioperasi dan ada donor mata dan biaya untuk memulihkan matanya tadi membutuhkan dana katakan Rp 500 juta, bukti bahwa bahwa Rp 500 juta itu ada di rumah sakit. Itu disebut dengan actual cost," ujar dia.

"Restitusi dalam hukum kita, jika tidak dibayar itu diganti dengan kurungan (penjara)," tambahnya.

Baca juga: Apesnya Pembeli HP Kena Tipu Penjual Lewat Facebook, Paket yang Datang Malah Isi Biskuit Roma

Namun, menurut dia, dalam beberapa kasus restitusi juga bisa dilakukan dengan perampasan aset terdakwa.

"Dalam beberapa kasus, kasus Heri Irawan yang di Jawa Barat itu, Jaksa menyatakan jika tidak dibayar akan ada perampasan terhadap harta bendannya, dijual kemudian dilelang dan biayanya itu dibayarkan kepada korban sebagaimana yang diputuskan oleh pengadilan," terang Sofian.

Sebelumnya, LPSK mengajukan biaya restitusi sebesar Rp 120 miliar kepada terdakwa Mario Dandy Satriyo dan Shane Lukas, serta terpidana anak AG (15).

Hal itu diungkapkan Ketua Tim Penghitung Restitusi LPSK Abdanev Jova saat dihadirkan sebagai saksi dalam sidang perkara penganiayaan berat berencana terhadap Cristalino David Ozora di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa (20/6/2023).

Abdanev mengatakan, ayah David, Jonathan Latumahina, mulanya mengajukan surat permohonan restitusi kepada LPSK pada 17 Maret 2023.

"Yang dimohonkan itu jumlahnya Rp 50 miliar sekian. Permohonannya (berisi) identitas, kronologi, kemudian beberapa bukti," kata Abdanev dalam kesaksiannya.

Namun, berdasarkan penghitungan LPSK, Abdanev mengungkapkan biaya restitusi yang harus dibayarkan yaitu sebesar Rp 120 miliar lebih.

"Dan dari permohonan itu, total penghitungan kewajaran LPSK Rp 120.388.911.030," ungkap dia.

Ia memaparkan, LPSK menghitung biaya restitusi berdasarkan tiga komponen; ganti kerugian atas kehilangan kekayaan, perawatan ganti atas perawatan medis psikologis, dan penderitaan.

Dalam surat permohonan yang dibuat Jonathan, ganti rugi atas hilangnya kekayaan jumlahnya mencapai Rp 40 juta.

Namun, penghitungan LPSK atas komponen pertama itu hanya Rp 18.162.000.

"Kemudian komponen pergantian biaya perawatan medis atau psikologis dari Rp 1.315.545.000, tim menilai Rp 1.315.660.000," papar Abdanev.

Pada komponen penderitaan, dari jumlah awal Rp 50 miliar yang dimohonkan Jonathan, penghitungan kewajaran LPSK mencapai Rp 118 miliar lebih.

Hakim kemudian bertanya bagaimana LPSK merinci biaya restitusi pada komponen penderitaan.

Abdanev menuturkan, LPSK menyadari komponen penderitaan yang dialami David tidak dapat digantikan dengan uang.

"Tim berangkat dari saat itu informasi dari dokter korban David mengalami diffuse axonal injury. Kemudian tim mencari rujukan, salah satunya melalui misal beberapa di internet, bahwa hasil komunikasi dengan dokter hasil rujukan diffuse axonal injury stage dua ini hanya 10 persen saja yang sembuh," tutur dia.

Mengingat tingkat kesembuhan David hanya 10 persen, LPSK menilai ada potensi penderitaan yang lebih besar.

"Tim berpendapat perhitungan merujuk dari umur, ini data BPS  Provinsi DKI Jakarta, rata-rata hidup itu 71 tahun. Kemudian 71 tahun ini dikurangi dengan umur korban 17 tahun. Artinya ada proyeksi selama 54 tahun korban ini menderita. Maka angka 54 tahun dikalikan Rp 2 miliar berdasarkan dari RS Mayapada dan hasilnya adalah Rp 118.104.480.000," pungkas Abdanev.

Baca artikel menarik lainnya TribunJakarta.com di Google News

Sumber: Tribun Jakarta
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved