Terpanggil Tanggung Jawab Moral, Akademisi Lintas Kampus Bacakan Seruan Salemba Kritisi Rezim Jokowi

Sejumlah tokoh hadir dalam pembacaan Seruan Salemba ini yang digelar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Jalan Salemba Raya.

Elga Hikari Putra/TribunJakarta.com
Para akademisi dari berbagai kampus membacakan Seruan Salemba untuk menyikapi berbagai persoalan bangsa saat ini di Gedung Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Kamis (14/3/2024). 

Laporan Wartawan TribunJakarta.com Elga Hikari Putra

TRIBUNJAKARTA.COM - Sejumlah tokoh hadir dalam pembacaan Seruan Salemba ini yang digelar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat, Kamis (14/3/2024).

Di antaranya ada Guru Besar UI, Prof. Harkristuti Harkrisnowo, Guru Besar IPB, Prof. Didik Suharjito, Guru Besar UNJ, Prof. Hafid Abbas, Franz Magnis Suseno, Faisal Basri, Ubedilah Badrun, Bivitri Susanti dan sejumlah mahasiswa dari IPB, UNJ dan UI.

Harkristuti yang mewakili pembacaan Seruan Salemba mengutarakan bahwa para ilmuwan merupakan warga negara yang memikul beban kepemimpinan moral dan intelektual.

"Kami memiliki sikap politik yang dilandasi oleh kebenaran ilmiah dan kepekaan sosial akan kebutuhan segenap warga, serta melakukan penilaian kritis atas kebijakan publik agar tetap mengacu pada nilai-nilai dan spirit pendirian bangsa, yaitu Pancasila dan Konstitusi," tuturnya.

Dia menegaskan para akademisi memegang teguh kebebasan akademik dan otonomi keilmuan saat menjalankan utama ilmu pengetahuan, serta tidak berbicara atau berjuang di atas kepentingan kekuasaan fungsi dan uang.

"Kami bersuara sebagai gerakan moral dan intelektual. Dengan ini kami menyampaikan pendapat akademik kami atas situasi nasional dan implikasi luasnya bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara," tuturnya.

Poin pertama dalam Seruan Salemba yakni mengingatkan bahwa Konstitusi mewajibkan Presiden, sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, untuk berdiri di atas semua golongan tanpa terkecuali.

"Namun amanat Konstitusi tersebut tidak dilaksanakan semata demi kepentingan kekuasaan," tuturnya.

Kedua, Konstitusi mewajibkan Presiden untuk mematuhi hukum dan kemandirian peradilan.

Dalam praktiknya, terjadi penyalahgunaan kekuasaan dengan rekayasa hukum (politisasi yudisial), yang makin meruntuhkan demokrasi.

Diubahnya pelbagai aturan dan kebijakan melemahkan pemberantasan korupsi dan merugikan hak rakyat, dari bidang kesehatan, ketenagakerjaan, hingga mineral dan pertambangan yang berakibat tersingkirnya masyarakat adat, hutan, dan kepunahan keanekaragaman hayati sebagai sumber pengetahuan, pangan, dan obat-obatan.
Ketiga, instrumentalisasi bantuan sosial (pork barrel politics) dengan alasan menopang rakyat miskin nampak seperti pembiaran terhadap kemiskinan.

"Padahal seharusnya penghapusan kemiskinan dilakukan dengan upaya memperluas lapangan kerja di segala bidang, meningkatkan kapasitas penduduk usia muda agar punya akses pendidikan setinggi-tingginya, memiliki inovasi untuk menghasilkan produk sains, teknologi, kesenian dan beragam produk budaya," paparnya.

Keempat, selama sepuluh tahun, pemerintah telah melahirkan berbagai kebijakan yang mereduksi substansi pendidikan menjadi urusan administratif belaka.

Sementara para pengajar dibebani berbagai barang penilaian, sementara substansi dan profesionalisme pendidik terabaikan.

Sumber: Tribun Jakarta
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved