Pemilu 2024

Pakar Sebut DPR Bunyikan Lonceng Kematian Demokrasi, Pembangkangan Telanjang Putusan MK

Pakar politik menyebut DPR telah membunyikan lonceng kematian demokrasi dengan mengakali putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

|

TRIBUNJAKARTA.COM - Pakar politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Burhanuddin Muhtadi, menyebut DPR telah membunyikan lonceng kematian demokrasi dengan mengakali putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada.

Terlebih DPR tidak sendiri, ada perwakilan pemerintah lewat kehadiran Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Supratman Andi Agtas saat pembahasan revisi Undang-Undang tersebut.

"Menurut saya ini satu wake up call alarming bell ya, lonceng kematian buat demokrasi," kata Burhanuddin di program Kompas Petang, Rabu (21/8/2024).

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia itu hanya bisa berharap DPR dan pemerintah sadar akan apa yang dilakukannya, dan mau bertaubat dengan menaati putusan MK.

sebaiknya sebelum semuanya terlambat pemerintah dan DPR menyadari kekhilafannya tadi dan eh Kembali ke trk semula yaitu putusan MK.

"Sebaiknya sebelum semuanya terlambat pemerintah dan DPR menyadari kekhilafannya tadi dan kembali ke track semula yaitu putusan MK," kata Burhanuddin.

Menurutnya, DPR telah melakukan akrobat politik untuk mengakali putusan MK.

"Poin saya terlihat dengan kasat mata DPR mencoba mengutak-atik berakrobat politik untuk menyiasati putusan MK. Padahal putusan MK sudah terang-benderang," jelasnya.

lihat fotohttps://jakarta.tribunnews.com/2024/08/21/dpr-dinilai-lawan-konstitusi-utak-atik-putusan-mk-soal-ambang-batas-pencalonan-kepala-daerah Anggota Baleg DPR RI tertawa setelah mengutak-atik putusan MK soal ambang batas pencalonan di Pilkada.
https://jakarta.tribunnews.com/2024/08/21/dpr-dinilai-lawan-konstitusi-utak-atik-putusan-mk-soal-ambang-batas-pencalonan-kepala-daerah Anggota Baleg DPR RI tertawa setelah mengutak-atik putusan MK soal ambang batas pencalonan di Pilkada.

Sementara, eks hakim konstitusidua periode, I Dewa Gede Palguna, menyebut apa yang dilakukan DPR adalah pembangkangan telanjang terhadap pengadilan.

"MKMK tidak perlu bersikap apa-apa, kami tidak punya kewenangan memeriksa Baleg (Badan Legislasi) DPR. Tapi cara ini, buat saya pribadi, adalah pembangkangan secara telanjang terhadap putusan pengadilan," kata Palguna yang juga Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), kepada Kompas.com, pada Rabu (21/8/2024).

Situasi semakin ironis karena putusan pengadilan yang dikangkangi DPR adalah putusan MK selaku lembaga tinggi negara yang ditugaskan konstitusi mengawal UUD 1945.

"MK adalah pengadilan yang, sebagaimana galibnya pengadilan, baru bisa bertindak kalau ada permohonan."

"Tinggal kelakuan itu dihadapkan dengan rakyat dan kalangan civil society serta kalangan kampus. Itu pun jika mereka belum kecapekan (untuk melawan)," kata Palguna.

Akali Putusan Ambang Batas

Putusan MK

Pada Selasa  (20/8/2024), MK mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah yang semula mutlak 20 persen dari total kepemilikan kursi DPRD atau 25 persen suara sah Pileg sebelumnya, menjadi 7,5 persen suara sah Pileg sebelumnya.

Angka 7,5 persen suara sah disesuaikan dengan besaran daftar pemilih tetap (DPT) pada suatu provinsi seperti halnya syarat calon independen.

Pengubahan ambang batas pencalonan paslon Pilkada secara keseluruhan itu tertuang pada putusan MK nomor 60/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan Partai Gelora dan Partai Buruh, dibacakan di Gedung MK, Jakarta.

MK memutuskan ambang batas pencalonan kepala daerah dari partai politik disamakan dengan ambang batas pencalonan kepala daerah jalur independen sesuai pasal Pasal 41 dan 42 Undang-Undang Pilkada.

Dalam pertimbangannya, MK menyatakan pasal 40 ayat (3) Undang-Undang (UU) nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada, inkonstitusional:

"Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25 persen (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan itu hanya berlaku untuk Partai Politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah."

MK pun mengabulkan sebagian gugatan. Berikut amar putusan MK yang mengubah isi pasal 40 ayat (1) UU Pilkada:

Partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:

Untuk mengusulkan calon gubernur dan calon wakil gubernur:

a. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10 persen di provinsi tersebut

b. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2 juta jiwa sampai 6 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5 persen di provinsi tersebut

c. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6 juta jiwa sampai 12 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5 persen di provinsi tersebut

d. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5 persen di provinsi tersebut

Untuk mengusulkan calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan calon wakil wali kota:

a. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250 ribu jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10 persen di kabupaten/kota tersebut

b. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250 ribu sampai 500 ribu jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5 persen di kabupaten/kota tersebut

c. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 500 ribu sampai 1 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5 persen di kabupaten/kota tersebut

d. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 1 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5 % di kabupaten/kota tersebut.

Kesepakatan Baleg DPR

Sementara itu, pada Rabu (21/8/2024),  Badan Legislasi (Baleg) DPR menggelar rapat panitia kerja (Panja) bersama pemerintah dengan agenda pembahasan revisi UU Pilkada, di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.

Alih-alih menaati putusan MK 60/PUU-XXII/2024, Baleg justru membuat kesepakatan lain.

Baleg mengutak-atiknya dengan memberlakukan putusan MK hanya untuk partai nonparlemen.

Sedangkan untuk partai yang memiliki perwakilan di DPRD tetap berlaku ambang batas pencalonan kepala daerah 20 kursi DPRD atau 25 suara sah.

Sementara pasal 40 hasil perubahan berdasarkan putusan MK ditambahkan dengan nomenkelatur khusus untuk partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD.

Selengkapnya berikut pasal yang disepakati oleh Baleg DPR pada 12.00 WIB tadi:

(1) Partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPRD dapat mendaftarkan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.

(2) Partai politik atau gabungan partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD Provinsi dapat mendaftarkan calon gubernur dan calon wakil gubernur dengan ketentuan:

a. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10 persen (sepuluh persen) di provinsi tersebut;

b. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2.000.000 (dua juta) jiwa sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5 persen (delapan setengah persen) di provinsi tersebut.

c. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6.000.000 (enam juta) jiwa sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5 persen (tujuh setengah persen) di provinsi tersebut

d. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5 persen (enam setengah persen) di provinsi tersebut;

(3) Partai politik atau gabungan partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD kabupaten/kota dapat mendaftarkan calon bupati dan calon wakil bupati atau calon wali kota dan calon wakil wali kota dengan ketentuan:

a. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilihn tetap sampai dengan 250.00 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10 persen (sepuluh persen) di kabupaten/kota tersebut.

b. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250.000 (dua ratus ima puluh ribu) sampai dengan 500.00 (ima ratus ribu) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5 persen (delapan setengah persen) di kabupaten kota tersebut;

c. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilihan tetap lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.00 (satu juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5 persen (tujuh setengah persen) di kabupaten kota tersebut;

d. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5 persen (enam setengah persen) di kabupaten/kota tersebut;

Bolak-Balik Batas Usia

Sementara itu, Baleg DPR juga enggan mengakomodasi alias ogah menaati putusan MK tentang syarat minimal usia calon kepala daerah (cakada).

Sikap tersebut ditunjukkan pada rapat panitia kerja (panja) revisi Undang-Undang nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada di Gedung DPR hari ini, Rabu (21/8/2024).

Anggota DPR dari mayoritas fraksi setuju tidak mengindahkan putusan MK dan justru berkiblat pada putusan Mahkamah Agung (MA).

Pada daftar inventarisasi masalah (DIM) nomor 72 yang dibahas dalam rapat tersebut adalah terkait pasal 7 ayat (2) huruf e:

"berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota;"

Pimpinan rapat, Achmad Baidowi, mengatakan, ada dua putusan terkait syarat usia cakada, yakni putusan MA 24 P/HUM/2024 dan putusan MK 70/PUU-XXII/2024.

Putusan MA mengubah batas waktu penghitungan usia minimum cakada dari sebelumnya saat penetapan menjadi saat calon tersebut dilantik sebagai kepala daerah definitif.

Sedangkan, putusan MK menegaskan bahwa pasal 7 ayat (2) huruf e sudah tepat dan tidak perlu diubah.

Artinya cakada harus memenuhi syarat usia minimal saat pendaftaran atau penetapan, bukan saat dilantik.

Setelah semua fraksi di baleg bersuara, Baidowi mengetuk palu, bahwa syarat usia cakada akan mengikuti putusan MA.

Kesepakatan tersebut sempat mendapat pertentangan dari Fraksi PDIP. Namun karena hanya sendiri, maka kesepakatan diambil dari suara fraksi mayoritas.

"Mayoritas fraksi tadi merujuk kepada putusan Mahkamah Agung. DPD juga, dan pemerintah menyesuaikan gitu kan."

"Setuju ya merujuk kepada Mahkamah Agung ya," kata Baidowi.

Sebagai catatan, hal ini baru menjadi kesepakatan di tingkat Baleg DPR. Keputusan mengenai hal ini akan diputuskan di paripurna, apakah bakal disahkan atau tidak.

Pilkada serentak 2024 sendiri semakin dekat dengan pendaftaran, yakni pada 27-29 Agustus 2024.

Disahkan Hari ini

Baleg DPR akan membawa draft revisi Undang-Undang yang sudah dibahas sebelumnya ke rapat paripurna hari ini, Kamis (22/8/2024).

Kesepakatan membawa draf RUU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada ke Rapat Paripurna itu diambil dalam rapat pandangan mini fraksi yang digelar setelah Rapat Panja RUU Pilkada pada Rabu (21/8/2024).

Sebanyak 8 dari sembilan fraksi partai politik, seperti Gerindra, Demokrat, Golkar, PKS, NasDem, PAN, PKB, dan PPP setuju, sementara yang menyatakan tidakhanya Fraksi PDIP.

"Apakah hasil pembahasan RUU tentang perubahan keempat atas undang-undang nomor 1 tahun 2015 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi undang-undang dapat diproses sesuai peraturan perundang-undangan?" kata Wakil Ketua Baleg DPR RI, Achmad Baidowi.

Sebagian besar peserta rapat menyatakan setuju kalau Revisi Undang-Undang itu disahkan menjadi Undang-Undang dalam rapat paripurna terdekat.

Seraya dengan hal tersebut, Awiek selaku pimpinan rapat mengucapkan rasa syukur atas terselenggaranya rapat hari ini.

"Alhamdulillah," kata Awiek.

Akses TribunJakarta.com di Google News atau WhatsApp Channel TribunJakarta.com. Pastikan Tribunners sudah install aplikasi WhatsApp ya

 

 

 

Sumber: Tribun Jakarta
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved