Pemilu 2024
Rakyat Menang! DPR Tetap Ogah Akui Batal Revisi UU Pilkada karena Demo: Kita Mengikuti Tata Tertib
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, mengatakan, revisi UU Pilkada dibatalkan hanya semata-mata karena mengikuti tata tertib yang ada.
TRIBUNJAKARTA.COM - Rakyat Indonesia yang seharian ini berunjuk rasa di berbagai daerah memenangkan tuntutannya, Kamis (22/8/2024).
DPR akhirnya membatalkan pengesahan revisi Undang-Undang (UU) Pilkada yang dinilai melawan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Kendati demikian, para wakil rakyat itu enggan mengakui bahwa pembatalan revisi UU nomor 10 tahun 2016 itu bukan karena aspirasi masyarakat yang disuarakan lewat demonstrasi.
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, mengatakan, revisi UU Pilkada dibatalkan hanya semata-mata karena mengikuti tata tertib yang ada.
Sebab, rapat paripurna yang diagendakan berlangsung pukul 9.30 -10.00 WIB tidak kuorum, maka pengesahan pun tidak bisa dilakukan.
"Bahwa pada hari ini tanggal 22 Agustus Hari Kamis pada jam 10.00 setelah kemudian mengalami penundaan selama 30 menit, maka tadi sudah diketok bahwa revisi Undang-Undang Pilkada tidak dapat dilaksanakan."
"Artinya pada hari ini, revisi Undang-Undang Pilkada batal dilaksanakan," kata Dasco di gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (22/8/2024).
Kalau harus mengadakan rapat paripurna lagi, maka mekanisme persiapannya juga harus dilaksanakan, sehingga tidak cukup waktu sebelum masa pendaftaran Pilkada serentak 2024 pada 27-29 Agustus 2024.

Dasco juga menegaskan, putusan MK berlaku pada pelaksanaan pesta demokrasi kali ini.
"Sesuai mekanisme yang berlaku, apa bila mau ada paripurna lagi harus mengikuti tahapan-tahapan yang diatur sesuai tata tertib di DPR."
"Karena pada Hari Selasa 27 Agustus 2024 sudah pada tahapan Pilkada. Kami tegaskan sekali lagi, karena kita patuh, taat, dan tunduk pada aturan yang berlaku, bahwa pada saat pendaftaran nanti, karena RUU Pilkada belum disahkan menjadi Undang-Undang, maka yang berlaku adalah hasil keputusan Mahkamah Konstitusi judicial review yang diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora," jelasnya.
Saat ditanya wartawan apakah alasan pembatalan pengesahan revisi UU tersebut dipengaruhi gelombang demo besar-besaran di berbagai daerah termasuk di depan gedung DPR sendiri, Dasco menyangkal.
Menurut dia, pembatalan pengesahan dilakukan secara otomatis ketika paripurna batal digelar, yaitu pukul 10.00 WIB.
Sementara, pada pukul tersebut, massa pendemo disebutnya masih sepi.
Dasco juga memastikan, tidak ada komunikasi dengan Istana untuk keputusan pembatalan revisi UU Pilkada.
"Kalau pagi Anda monitor, bahwa tidak jadi dilaksanakan atau batalnya pengesahan itu jam 10 pagi. Jam 10 pagi itu belum ada massa, masih sepi."
"Dan tidak ada komunikasi apapun (dengan istana), tetapi karena kita mengikuti tata tertib aturan yang berlaku tentang tata cara persidangan di DPR," jelas Dasco.
"Setelah ditunda 30 menit dari 9.30 sampai 10.00 dan menurut tata tertib itu tidak dapat diteruskan, sehingga kita tidak jadi laksanakan," tambahnya.
Amarah Rakyat
Seperti diketahui, amarah rakyat Indonesia memuncak ketika Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menggelar rapat panitia kerja (panja) revisi UU Pilkada Rabu (21/8/2024).
Rapat tersebut menyepakati sejumlah perubahan pasal yang berbeda dengan hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada sehari sebelumnya.
Di media sosial masyarakat mengekspresikan protesnya dengan mengunggah gambar Garuda berlatar biru dengan tulisan tegas 'PERINGATAN DARURAT'.
Unggahan gambar tersebut disertai berbagai tulisan yang menyatakan kemarahan atas ulah DPR yang ingin mengutak-atik putusan MK lewat revisi tersebut.
Terlebih, waktu pendaftaran Pilkada serentak 2024 semakin dekat, yakni 27-29 Agustus 2024.
Setelah menyepakati draft revisi UU Pilkada, DPR mengagendakan rapat paripurna pada Kamis pagi (22/8/2024) untuk mengesahkannya.
Sementara masyarakat sudah terkonsolidasi untuk pada waktu yang bersamaan menggelar demo besar-besaran.
Dimotori mahasiswa, demo penolakan revisi UU Pilkada terjadi di kantor DPRD sejumlah daerah, termasuk Sumatera Selatan, Bengkulu, Salatiga dan Maluku.
Sementara, di Jakarta, demo terpusat di gedung DPR.
Mahasiswa, buruh, akademisi, aktor hingga komika turun ke jalan ikut berunjuk rasa.
Bergantian, pendemo berorasi menyuarakan peringatan kepada anggota DPR yang kemarin mempertontonkan pembangkangan terhadap MK.
Reza Rahadian, aktor kawakan Indonesia, ikut turun ke jalan dan berorasi di depan para demonstran.
Pemeran Presiden BJ Habibie pada film 'Habibie & Ainun' mengaku tak lagi bisa berdiam diri di rumah dan bersuara melalui ranah perfilman yang digelutinya.
"Saya merasa ini adalah waktu yang tepat untuk saya keluar dan bersama dengan kawan-kawan semua."
"Melihat bagaimana MK yang sedang berusaha mengembalikan citranya setelah wajahnya habis porak-porandakan dari sebelumnya, dan hari ini kita sudah mendapatkan sebuah keputusan yang sangat kita hormati dari MK masih juga berusaha untuk dibegal, masih juga berusaha untuk dijegal," kata Reza di mimbar orasi.
Massa demonstran pun berteriak menyambut orasi sang aktor.
Reza lantas menyuarakan keraguannya pada para anggota DPR yang setuju merevisi UU Pilkada dan menganulir putusan MK.
Ia mempertanyakan para wakil rakyat itu berada di pihak mana.
"Kalau Mahkamah Konstitusi sedang melakukan perbuatan yang mengembalikan nobelity-nya sebagai Mahkamah Konstitusi, lalu hari ini kita mendapatkan kenyataan bahwa itu coba dianulir oleh sebuah lembaga yang katanya adalah wakil-wakil kita semua hari ini, lantas Anda-Anda di dalam ini wakil siapa!" pekik Reza yang sekali lagi riuh disambut sorakan para demonstran lain.
Reza juga menegaskan dirinya tidak mewakili kubu politik manapun.
Ia murni bersuara sebagai masyarakat yang resah atas ulah DPR.
"Ini bukan negara milik keluarga tertentu. Kalau ada nomor dalam Undang-Undang kemudian hanya dibela untuk keluarga tertentu. Miris melihat ini semua," kata Reza.
Sementara itu, komika Mamat Alkatiri yang juga ikut berunjuk rasa, mengutarakan aspirasinya melalui awak media.
Mamat menegaskan agar masyarakat harus bersatu mengawal putusan MK dan jangan mau dipecah.
"Teman-teman kita datang ke sini (depan Gedung DPR RI), saya cuma minta jangan mau lagi kita dipecah belah oleh mereka," ujar Mamat.
"Kita tinggalkan ego yang ada pada diri kita, kita bersatu, karena mereka takut kita bersatu. Jadi teman-teman datang ke sini atas aspirasi sendiri, mereka takut kita jadi banyak," lanjutnya.
Pemuda asal Fakfak itu menilai, selama ini aspirasi masyarakat banyak yang dibungkam.
"Selama ini mereka memecah belah kita, seluruh agenda mereka dimasukkan dan gol-gol saja, iya kan? Jadi setuju tidak kalau kita harus bersatu. Bersatu rakyat indonesia, hidup rakyat indonesia," ujar dia.
Mamat merasa DPR sudah terlalu sewenang-wenang mengobrak-abrik aturan tanpa mendengar rakyat yang diwakilkan.
"Saat ini juga kami merasa sudah genting. Secara gampang banget deh aturan diakal-akalin, diubah-ubah, belok-beloknya, gampang banget, cepat banget rapat mereka, gitu. jadi ya kita putusakan turun bersama teman-teman yang lain.
Komika lainnya, Ananta Rispo, sengaja turun demo agar putusan MK tidak diutak-atik.
"Kalau saya ke sini karena tujuannya ingin mengawal putusan MK agar tidak diganggu gugat," kata Rispo.
DPR Utak-Atik Putusan MK
Sebelumnya diberitakan, pada Rabu (21/8/2024), Badan Legislasi (Baleg) DPR menggelar rapat panitia kerja (Panja) bersama pemerintah dengan agenda pembahasan revisi UU Pilkada, di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Alih-alih menaati putusan MK 60/PUU-XXII/2024, Baleg justru membuat kesepakatan lain.
MK mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah yang semula mutlak 20 persen dari total kepemilikan kursi DPRD atau 25 persen suara sah Pileg sebelumnya, menjadi 7,5 persen suara sah Pileg sebelumnya.
Angka 7,5 persen suara sah disesuaikan dengan besaran daftar pemilih tetap (DPT) pada suatu provinsi seperti halnya syarat calon independen.
Baleg mengutak-atiknya dengan memberlakukan putusan MK hanya untuk partai nonparlemen.
Sedangkan untuk partai yang memiliki perwakilan di DPRD tetap berlaku ambang batas pencalonan kepala daerah 20 kursi DPRD atau 25 suara sah.
Sementara pasal 40 hasil perubahan berdasarkan putusan MK ditambahkan dengan nomenkelatur khusus untuk partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD.
Selengkapnya berikut pasal yang disepakati oleh Baleg DPR pada 12.00 WIB:
(1) Partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPRD dapat mendaftarkan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.
(2) Partai politik atau gabungan partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD Provinsi dapat mendaftarkan calon gubernur dan calon wakil gubernur dengan ketentuan:
a. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10 persen (sepuluh persen) di provinsi tersebut;
b. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2.000.000 (dua juta) jiwa sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5 persen (delapan setengah persen) di provinsi tersebut.
c. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6.000.000 (enam juta) jiwa sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5 persen (tujuh setengah persen) di provinsi tersebut
d. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5 persen (enam setengah persen) di provinsi tersebut;
(3) Partai politik atau gabungan partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD kabupaten/kota dapat mendaftarkan calon bupati dan calon wakil bupati atau calon wali kota dan calon wakil wali kota dengan ketentuan:
a. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilihn tetap sampai dengan 250.00 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10 persen (sepuluh persen) di kabupaten/kota tersebut.
b. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250.000 (dua ratus ima puluh ribu) sampai dengan 500.00 (ima ratus ribu) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5 persen (delapan setengah persen) di kabupaten kota tersebut;
c. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilihan tetap lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.00 (satu juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5 persen (tujuh setengah persen) di kabupaten kota tersebut;
d. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5 persen (enam setengah persen) di kabupaten/kota tersebut;
Sementara itu, Baleg DPR juga enggan mengakomodasi putusan MK nomor 70/PUU-XXII/2024 tentang syarat minimal usia calon kepala daerah (cakada).
Anggota DPR dari mayoritas fraksi setuju tidak mengindahkan putusan MK dan justru berkiblat pada putusan Mahkamah Agung (MA).
Pada daftar inventarisasi masalah (DIM) nomor 72 yang dibahas dalam rapat tersebut adalah terkait pasal 7 ayat (2) huruf e:
"berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota;"
Pimpinan rapat, Achmad Baidowi, mengatakan, ada dua putusan terkait syarat usia cakada, yakni putusan MA 24 P/HUM/2024 dan putusan MK 70/PUU-XXII/2024.
Putusan MA mengubah batas waktu penghitungan usia minimum cakada dari sebelumnya saat penetapan menjadi saat calon tersebut dilantik sebagai kepala daerah definitif.
Sedangkan, putusan MK menegaskan bahwa pasal 7 ayat (2) huruf e sudah tepat dan tidak perlu diubah.
Artinya cakada harus memenuhi syarat usia minimal saat pendaftaran atau penetapan, bukan saat dilantik.
Setelah semua fraksi di baleg bersuara, Baidowi mengetuk palu, bahwa syarat usia cakada akan mengikuti putusan MA.
Kesepakatan tersebut sempat mendapat pertentangan dari Fraksi PDIP. Namun karena hanya sendiri, maka kesepakatan diambil dari suara fraksi mayoritas.
Akses TribunJakarta.com di Google News atau WhatsApp Channel TribunJakarta.com. Pastikan Tribunners sudah install aplikasi WhatsApp ya
PKS Buka Suara soal Faktor Kekalahan di Pilkada Depok, Masih Mendebat Kejenuhan Warga 20 Tahun |
![]() |
---|
Pilkada Telah Usai, GMKI Jakarta Suarakan Masyarakat Kembali Bersatu |
![]() |
---|
Ulasan Lengkap Pilkada Depok 2024: Peta Suara 11 Kecamatan, Nasib PKS hingga Alasan Imam-Ririn Kalah |
![]() |
---|
Aktivis Pemuda NTT di Jakarta Nilai Pilkada 2024 Kondusif: Tidak Terjadi Hal yang Dikhawatirkan |
![]() |
---|
Jenuh dan Karakter Rasional Warga Kota Bekasi Jadi Faktor Rendahnya Partisipasi Pemilih Pilkada 2024 |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.