“'Allahu Akbar, Tuhan Yesus tolong kami', dan kata-kata penyerahan diri lainnya terus bergema sambil berlari," kenangnya.
"Semuanya seperti tersadar begitu kecilnya keberadaan manusia dalam kondisi dan kekalutan seperti itu," sambungnya.
Semakin malam, suasana semakin mencekam.
Ale menerangkan, sebagian besar pengungsi di perbukitan Donggala Kodi tanpa anggota keluarga yang lengkap.
Mereka terpencar mencari tempat yang bisa menyelamatkan diri mereka.
Begitu ada di ketinggian, mereka baru tersadar bahwa anggota keluarganya ada yang tertinggal di bibir pantai.
"Seorang ibu yang memegang dua anaknya yang masih bayi, sambil menangis memanggil-manggil suaminya. Ternyata, setengah jam sebelum terjadi peristiwa itu, suaminya turun ke laut untuk memancing," ujar Ale menceritakan kisah seorang ibu di pengungsian.
Kejadian itu membuat Ale trauma hingga saat ini.
"Saat ini saya sangat trauma mengenang detik-detik yang mengerikan itu. Saya tidak bisa melihat tayangan televisi yang memperlihatkan kantong jenasah," ungkapnya.
Ale sendiri baru bisa menghubungi anak-anak dan istrinya di Surabaya, sebab seluruh jaringan komunikasi terputus di Palu.
Ia bahkan harus berkunjung ke Parigi, daerah yang berbatasan dengan Kota Palu, hanya untuk mencari jaringan internet dan sinyal.
Keluarganya pun baru mengetahui dirinya selamat setelah tiga hari pasca-bencana besar itu.
Korban meninggal dunia mencapai 1.234 orang
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho memberikan perkembangan jumlah korban jiwa dan kondisi terkini di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah usai digoncang gempa berkekuatan 7,4 SR dan tsunami pada Jumat (28/9/2018) lalu.