Iswanto menuturkan, pihaknya hanya ingin semua warga hidup rukun.
Dia mengungkapkan, dari sekitar 540 KK, ada 1 KK yang non-Muslim tinggal sejak lama, dan selama ini tidak ada permasalahan.
"Nantinya kami mengikuti aturan yang ada di pemerintahan saja," ucap Iswanto.
Sebelumnya, mediasi antara Slamet, tokoh masyarakat dan polisi telah menghasilkan kesepakatan. Salah satunya adalah mencabut peraturan diskriminatif tersebut.
"Semalam (Senin, 1/4/2018) ada kesepakatan peraturan itu dicabut," kata Slamet.
"Yang terpenting bagi saya, peraturan tersebut sudah dicabut. Jangan sampai ada korban lainnya. Jangan sampai cap intoleransi di DIY semakin tebal," tambahnya.
3. Awal mula Slamet ditolak tinggal di Dukuh Karet
Slamet menceritakan kepada Kompas.com terkait kasus diskriminatif yang menimpa dirinya.
Pada Minggu (31/3/2019), ayah dua anak tersebut berencana mengontrak rumah di Dukuh Karet, RT 008, Desa Pleret.
Setelah sepakat harga sewa rumah, sang pemilik rumah tidak menyinggung apapun tentang masalah agama yang dianutnya.
Lalu, pria yang berprofesi sebagai pelukis itu segera melapor ke Ketua RT setempat dengan membawa fotokopi KTP, KK, hingga surat nikah.
Setelah diperiksa, Ketua RT menyampaikan bahwa Slamet tidak bisa tinggal di dukuh itu karena beragama Katolik.
Mendengar hal itu, Slamet mencoba mencari kepastian ke Kepala Dukuh Karet, Iswanto.
"Paginya saya ketemu ketua kampung, itu pun juga ditolak, kemudian saya ingin ketemu pak dukuh, cuma waktu kemarin belum tahu rumahnya, belum tahu namanya," ucap Slamet, saat ditemui di kontrakannya, Selasa (2/4/2019).
4. Mengadu hingga Sekretaris Sultan melalui pesan singkat