TRIBUNJAKARTA.COM - Ahli Hukum Tata Negara sekaligus Pengamat Politik Refly Harun angkat bicara mengenai wacana Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang akan dihidupkan kembali.
Wacana GBHN dihidupkan kembali itu berasal dari MPR yang mengemukakan gagasan untuk melakukan perubahan kelima terhadap UUD 1945.
Satu diantara wacana tersebut yakni menghidupkan kembali wewenang MPR untuk membentuk GBHN.
MPR mengusulkan desain baru pengaturan GBHN yang nantinya akan berisi pedoman bagi arah pembangunan nasional.
Refly Harun lantas menilai munculnya wacana GBHN yang akan dihidupkan kembali itu bisa memunculkan problematika ketatanegaraan baru ke depannya.
Pakar Hukum Tata Negara itu kemudian mengungkapkan dua hal yang digarisbawahi dengan adanya wacana GBHN tersebut yakni posisi GBHN dan penegakkan hukum andai ada pelanggaran.
• Naik MRT Jakarta, Mama Rieta Kepergok Pakai Tas Kecil Seharga Ratusan Juta, Intip Penampilannya
• Kongres V PDIP Dipercepat & Akan Dihadiri Megawati serta Jokowi, Puan Maharani Ungkap Alasannya
Refly Harun menilai dengan adanya GBHN yang akan diintroduksi MPR kembali, maka pertanyaannya apakah harus dengan melakukan amandemen UUD 1945.
"Karena jika mengeluarkan ketetapan MPR maka sebenarnya masih bisa dengan cara merevisi UU P3 (Peraturan Pembentukan Perundang-undangan) karena dalam UU tersebut, masih ada ketetapan MPR yang sudah ada sebelumnya," jelas Refly Harun.
Simak Videonya Mulai Menit 14.30:
Kemudian, andai GBHN mau ditetapkan kembali maka persoalannya mengenai mekanisme penegakkan hukumnya jika ada pelanggaran terhadap GBHN.
Menurut Refly Harun, jika tak ada mekanisme penegakkan hukum maka tak ada gunanya karena lembaga negara dan termasuk jajaran eksekutif tidak bisa kena sanksi jika melakukan pelanggaran.
"Padahal kita tahu sanksi itu ada tiga jenis yakni hukum, pidana dan politik. Kalau di UU kan sudah jelas," papar Refly Harun.
• Resep Santai Gibran Rakabuming Tanggapi Tudingan Miring ke Presiden Jokowi, Jadi Lucu-lucuan
• Daftar Menteri Kabinet Kerja Jilid II Beredar: Ada Fadli Zon, Ganjar Pranowo & Dino Patti Djalal
Refly Harun lantas mempertanyakan posisi GBHN andai diaktifkan kembali di sistem pemerintah Indonesia.
"Dimana letak GBHN di hirarki perundang-undangan? Apakah dia itu dibawah konstitusi atau lainnya?
Katakan misalnya GBHN dibawah konstitusi dan diatas UU maka bagaimana? atau GBHN diatas UU dan dibawah UUD, maka pertanyaannya siapa yang bisa melakukan review andai ada pertentangan antara GBHN dengan UUD 1945?" tanya Refly Harun.
Refly Harun kemudian memberikan contoh peristiwa kekuatan politik yang memaksakan pasal tertentu di GBHN karena dianggap implementatif dan bertentangan dengan UUD 1945, maka siapakah pihak yang akan mereviewnya.
• Gagal UTUL UGM? Yuk Coba Sekolah Vokasi UGM, Simak Syarat & Panduan Pendaftarannya!
• Penjelasan Berkurban Online Saat Idul Adha 2019, Ini Aturan Hukum dan Syarat Lengkapnya
"Kalau reviewnya dikembalikan ke MK, saya setuju tetapi untuk sementara ini berdasarkan dokumen formal yang ada, MK tak memiliki kewenangan untuk mereview TAP MPR," beber Refly Harun.
"Tapi kalau dikaitkan dengan supremasi konstitusi yang mengubah supremasi MPR, maka lembaga pengawal konstitusi bisa mengeceknya. Pertanyaannya mau tidak produk MPR bisa direview, yang berarti masyarakat punya suara untuk mempermasalahkannya," sambungnya.
Refly Harun menekankan terdapat beberapa permasalahan besar terkait wacana GBHN yang akan dihidupkan kembali.
"Permasalahan tersebut tak se-sederhana yang dibayangkan bahwa bukan cuma mengubah pasal 2 dan 3, MPR menetapkan GBHN. Tetapi rentetan dari kejadian tersebut yang harus diperhatikan," jelas Refly Harun.
• Gegara Kaesang Malas Foto Bareng, Paspampres Sandhyca Putrie Memaksanya, Intip Gaya Anak Jokowi
• Gadis di Tegal Ditemukan Tinggal Tulang Belulang Setelah 5 Bulan Hilang, Begini Faktanya
Mendagri Tegaskan Indonesia Perlu GBHN
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menegaskan Indonesia memerlukan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) agar pembangunan tidak terputus dan negara secara luas harus memiliki rencana jangka panjang.
Ditemui di Komplek Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (12/8/2019) Tjahjo menjelaskan perencanaan jangka panjang sudah dibuat sejak pemerintahan Presiden ke-1 RI Sukarno hingga Presiden ke-2 RI Soeharto.
"Jangan sampai terputus kesinambungan dan perencanaan jangka panjang, ya perlu GBHN," ungkap Tjahjo.
Tjahjo menjelaskan GBHN berbeda dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Menurutnya, rencana pembangunan secara umum nanti bakal dijabarkan dalam GBHN.
"Pemerintah memiliki skala prioritas dalam memilih program yang dijabarkan di GBHN tersebut. Setiap GBHN dijabarkan. Apapun. Sekarang saya aja menyetujui perencanaan anggaran program Pemda. Pasti ada skala prioritas. Seperti DKI, masalah kemacetan, masalah banjir, kaki lima. Ada skala prioritas," tutur Politikus PDI Perjuangan itu.
Tjahjo melanjutkan masalah penghidupan kembali GBHN masih sebatas usulan. Namun, dia meyakini usulan tersebut akan disepakati dengan melakukan amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Untuk diketahui wacana menghidupkan kembali GBHN muncul dengan melakukan amendemen terbatas UUD 1945.
Anggota MPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Ali Taher berharap amendemen tersebut bisa mengembalikan fungsi GBHN dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
GBHN dinilai penting agar arah pembangunan nasional lebih terarah dan penggunaan anggaran negara lebih terukur.
MPR RI Ajak Pakar Hukum Tata Negara Kalsel Bahas GBHN
Majelis Permisi Rakyat (MPR) RI melakukan pembahasan mengenai perancangan kembali GBHN (Garis Besar Haluan Negara) bersama sejumlah dosen hukum tata negara di Kalimantan Selatan, Rabu (14/9) siang di SwissBell Hotel Banjarmasin.
Dalam diskusi bertajuk 'Reformulasi Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Model GBHN dan Gagasan Perubahan Undang-undang Dasar RI 1945' tersebut, hadir langsung Bambang Sadono, Ketua Badan Pengkajian MPR RI.
Dia menyebutkan, GBHN saat ini masih terrus diperlukan negara sebagai panduan dalam pembangunan.
"GBHN dibutukan untuk negara, sebagai program perencanaan terpadu dari pusat sampai yang paling bawah supaya konsisten dan terputus-putus," terangnya.
Dalam diskusi tersebut, kata Bambang mencari landasan hukum yang bagaimana yang tepat dalam memformulasikan kembali GBHN.
"Makanya kita ajak diskusi para pakar tata negara Kalsel, untuk mendapat masukan yang tepat dan nantinya akan kita bawa ke pusat," ujarnya.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Kalsel Prof Hadin Muhjad mengatakan, GBHN seperti yang dimaksud dalam Pasal 3 UUD 1946 sebelum amandemen, sebenarnya saat ini sudah tidak diperlukan lagi.
"GBHN model baru dibentuk oleh lembaga negara yang memberikan kewajiban kepada presiden yang dipilih langsung oleh rakyat untuk menjalankannya perlu dikembangkan lagi," ujanrya.