Yenti pun mempertanyakan ketegasan Jaksa Agung dalam kasus eks jaksa Pinangki Sirna Marasari yang masih terdapat ketidakadilan.
"Terkait Pinangki, ya itulah setiap pertanyaan yang seharusnya disadari oleh kejaksaan agung dan para penegak hukum yang lain. Jika mereka mengambil langkah-langkah yang 'tidak adil' bahkan karena orang tersebut bagian dari Korpsnya sendiri, bahkan malah ada pengurangan bukannya dihukum maksimal. Itu kan menunjukkan bahwa dia tidak bisa menegakkan hukum dengan objektifp," kata dia.
Apalagi menurutnya, Kejaksaan Agung merupakan lembaga penegakan hukum yang seharusnya bisa menegakkan keadilan.
Selain pemidanaan bertujuan untuk penjeraan, Yenti mengatakan bahwa yang tak kalah penting adalah pencegahan tindak pidana korupsi.
"Jadi perlu kerjasama semua pihak, eksekutif, legislatif dan yudikatif. Jangan membuat sistem yang membuat orang mau korupsi. Kita jangan hanya melihat orang korupsi di pidana mati, dipenjarakan, dibuat jera, itu tidak bisa! Jadi kita sudah saatnya harus bicara juga tentang pencegahan tindak pidana koruspi secara sitematis, dan melihat sistem-sistem yang ada di eksekutif, yudikatif dan legislatif," lanjutnya.
"Sebenarnya kalau jaksa menuntut setinggi-tingginya pidana mati, oke saja. Tapi kalau ngomong jaksa akan menghukum pidana mati itu, ya nggak bener. Nggak mungkin mereka menghukum kan? Jaksa hanya bisa menuntut setinggi-tingginya," kata Yenti.
Baca juga: Pakar Kritisi Cepatnya Kejaksaaan Limpahkan Berkas Perkara 13 Tersangka Kasus Jiwasraya
Ia pun mengatakan bahwa seluruh pemangku kebijakan juga harus berkomitmen dalam melakukan penegakan hukuman mati bila nanti akhirnya disepakati, jangan sampai lembaga-lembaga terkait tak sejalan.
"Nanti hakimnya malah bertolak belakang," kata Yenti yang juga tim perumus RUU KUHP. (*)